Cerita Rakyat 33 Propinsi dari Indonesia
1. NANGGROE
ACEH DARUSSALAM
Geugasi dan Geugesa
Zaman dahulu kala ada sebuah kampung
yang sangat aman dan damai di daerah Aceh. Di sana tidak pernah terjadi pencurian maupun
perampokan. Masyarakatnya pun tidak pernah saling bertengkar. Kalau ada
masalah, mereka langsung menyelesaikannya secara musyawarah sehingga suasana di
sana hidup
penuh rukun dan saling tolong menolong.
Di kampung itu, hiduplah seorang ibu
dengan anaknya yang masih berusia sepuluh tahun. Si ibu dan anak itu
sehari-harinya mencari kayu bakar di hutan yang kemudian kayu itu dijual ke
pasar. Dari hasil itu, mereka bisa membeli kebutuhan sehari-hari.
Suatu hari, kampung yang aman itu
dikejutkan oleh hilangnya kerbau Mak Yah. Semua masyarakat mencarinya, tapi tak
seorang pun yang menemukannya. Kerbau itu hilang bagaikan ditelan rimba. Hal
ini tidak pernah terjadi sebelumnya sehingga membuat masyarakat bertanya-tanya
siapa yang mencuri kerbau itu. Keesokan harinya, tiga ekor kambing Bang Ma’e
ikut hilang di tempat pengembalaannya. Di sana
yang tinggal hanyalah tulang belulang dan percikan darah di mana-mana. Kejadian
ini membuat warga semakin penasaran. Dalam hati mereka bertanya, “Sebenarnya
siapa yang telah merusak kedamaian di kampung ini?”
Hari-hari berikutnya, makin banyak warga
yang kehilangan binatang ternaknya. Bahkan, salah satu anak Wak Minah juga
telah hilang ketika dia bermain hingga membuat wak itu terus menangis sepanjang
hari. Masyarakat menebak bahwa yang memakan ternak mereka dan mencuri anak Wak
Minah adalah geugasi (raksasa) yang tinggal di hutan sana . Karena tapak-tapak yang tertinggal di
daerah itu sangatlah besar.
Masyarakat
di kampung itu pun mulai resah. Ketakutan mulai melanda di hati mereka. Mereka
pun tidak berani lagi keluar rumah. Ahmad yang tidak tahan dengan keadaan itu
memberanikan diri untuk mencari sang pembuat onar.
Keesokan
harinya, dia berpamitan kepada ibunya untuk pergi ke hutan, tetapi sang ibu
melarangnya. “Jangan Ahmad, nanti kamu
dimakan geugasi,” ucap ibunya gusar.
“Tidak Bu, aku akan menjaga diriku
baik-baik. Ibu berdoa saja agar aku selamat.”
Akhirnya
ibunya hanya bisa mengangguk pasrah menerima permintaan Ahmad, anaknya yang
keras kepala. Kemudian pergilah Ahmad ke hutan seorang diri. Dia hanya membawa
bekal makanan dan satu pisau yang diselip di pinggangnya. Ahmad terus berjalan
hingga dia sendiri tidak tahu lagi sudah sejauh mana dia berjalan. Keringat
mulai membasahi tubuhnya, dia pun beristirahat sebentar di bawah pohon. Dari
kejauhan, tampaklah sebuah rumah panggung dan semangat Ahmad muncul kembali.
Dia menuju rumah itu.
Rumah
panggung itu tidak begitu besar dan juga tidak terlalu kecil. Ahmad
mengetuk-ngetuk pintu rumah itu, tapi tidak ada sahutan. Dia pun masuk. Di
dalam rumah itu terdapat bermacam kepala binatang dan tulang-belulang yang
dijadikan sebagai pajangan. Berbagai jenis tombak dan parang terletak di sudut
rumah itu begitu juga dengan barang-barang lainnya.
Ahmad terkejut mendengar suara rintihan
minta tolong yang tiba-tiba itu. Dia pun mencari sumber suara itu dan
menemukannnya di salah satu kamar di rumah itu. Ternyata itu adalah suara anak
perempuan Wak Minah yang hilang. Anak itu meringkuk di sudut sambil menangis
tersedu-sedu. Tahulah Ahmad sekarang kalau itu adalah rumah geugasi yang dia
cari. Dia pun menenangkan anak wak Minah dan berjanji akan memulangkannya pada
ibunya.
Tiba-tiba dari kejauhan terdengar suara
orang yang berjalan dengan begitu keras. Rasa-rasanya bumi bergoyang ketika
tapak-tapak itu menghantam tanah. “Itu pastilah geugasi,” pikir Ahmad. Dia pun memikirkan
ide agar mereka selamat.
Geugasi
yang baru saja mencari makanan akhirnya tiba di halaman rumahnya. Lalu dia
berhenti dan hidungnya naik-turun berkali-kali. “Aku mencium bau manusia….”
ucapnya dengan begitu keras. Tiba-tiba terdengar suara-suara tapak yang begitu
keras di dalam rumah. Kening geugasi itu berkerut.
“Siapa di
dalam?” tanyanya penasaran.
“Geugasa,”
jawab Ahmad dengan suara yang keras sambil meloncat-loncat di lantai.
Geugasi
berpikir bahwa geugasa itu juga sejenis raksasa. Dia pun bertanya lagi, “Coba
kulihat gigimu!”
Ahmad
melempar buah pinang. Si geugasi terkejut melihat gigi geugasa lebih besar dari
giginya. Dia pun melanjutkan pertanyaannya, “Coba kulihat kumismu!”
Ahmad
mengambil satu gumpalan bulu ijuk yang lebat dan melemparnya keluar. Si geugasi
lagi-lagi terkejut melihat kumis geugasa yang begitu lebat itu. Dia memegang
kumisnya yang hanya setengah dari gumpalan kumis si geugasa itu. Dia pun bertanya lagi, “Coba kulihat tahimu!”
Ahmad pun melempar buah kelapa yang
besar dan tua. Si gugasi sangat terkejut melihat tahi geugasa yang begitu besar itu. Dia
berpikir, kalau gigi dan tahinya sebesar itu dan kumisnya selebat itu,
bagaimanakah besarnya geugasa itu. “Oh, pastilah dia amat sangat besar….
Pastilah aku mati kalau berhadapan dengannya,” ucap geugasi pada dirinya
sendiri.
“Aku
sangaat lapaarrr…. apakah ada makanan disini?” ucap Ahmad dengan suara yang
dikeras-keraskan.
Mendengar itu, badan geugasi langsung
gemetar, keringat dingin mulai keluar, dan mukanya menjadi tegang. Jelas sekali
dia ketakutan. “Aaarrrgghhhhh…… kenapa tidak ada apa-apa di sini? Lebih baik aku keluar
saja. Pasti ada makanan di sana.”
Tubuh
geugasi makin bergetar hebat karena mendengar ucapan geugasa. Tanpa menunggu
waktu lagi, dia berbalik arah hendak melarikan diri, tapi Ahmad dengan cekatan
mengambil tombak dan melemparnya ke arah geugasi. Tombak itu menancap mulus di
punggung geugasi hingga tembus ke perutnya. Dia mengerang begitu keras. Ahmad
pun mengambil tombak satu lagi dan melemparnya lagi hingga menancap di kepala
geugasi yang berambut lebat dan panjang. Geugasi itu pun tersungkur di tanah.
Dia mati.
Ahmad dan
anak wak Minah turun dan melihat geugasi yang sudah tak bernyawa itu. Lalu
mereka pulang dan setiba di sana mereka mengabarkan pada seluruh warga di
kampung bahwa mereka telah membunuh geugasi. Semua orang sangat senang, apalagi
Wak Minah dan ibu si Ahmad karena melihat anaknya kembali dengan selamat. Akhirnya kampung itu kembali aman dan damai.
2. SUMATERA UTARA
Asal-Usul Danau Toba
Di Sumatera Utara terdapat danau yang
sangat besar dan ditengah-tengah danau tersebut terdapat sebuah pulau. Danau
itu bernama Danau Toba sedangkan pulau ditengahnya dinamakan Pulau Samosir.
Konon danau tersebut berasal dari kutukan dewa.
Di sebuah desa di wilayah Sumatera,
hidup seorang petani. Ia seorang petani yang rajin bekerja walaupun lahan
pertaniannya tidak luas. Ia bisa mencukupi kebutuhannya dari hasil kerjanya
yang tidak kenal lelah. Sebenarnya usianya sudah cukup untuk menikah, tetapi ia
tetap memilih hidup sendirian. Di suatu pagi hari yang cerah, petani itu
memancing ikan di sungai. “Mudah-mudahan hari ini aku mendapat ikan yang
besar,” gumam petani tersebut dalam hati. Beberapa saat setelah kailnya
dilemparkan, kailnya terlihat bergoyang-goyang. Ia segera menarik kailnya.
Petani itu bersorak kegirangan setelah mendapat seekor ikan cukup besar.
Ia takjub
melihat warna sisik ikan yang indah. Sisik ikan itu berwarna kuning emas
kemerah-merahan. Kedua matanya bulat dan menonjol memancarkan kilatan yang
menakjubkan. “Tunggu, aku jangan dimakan! Aku akan bersedia menemanimu jika kau
tidak jadi memakanku.” Petani tersebut terkejut mendengar suara dari ikan itu.
Karena keterkejutannya, ikan yang ditangkapnya terjatuh ke tanah. Kemudian
tidak berapa lama, ikan itu berubah wujud menjadi seorang gadis yang cantik
jelita. “Bermimpikah aku?,” gumam petani.
“Jangan
takut pak, aku juga manusia seperti engkau. Aku sangat berhutang budi padamu
karena telah menyelamatkanku dari kutukan Dewata,” kata gadis itu. “Namaku
Puteri, aku tidak keberatan untuk menjadi istrimu,” kata gadis itu seolah
mendesak. Petani itupun mengangguk. Maka jadilah mereka sebagai suami istri.
Namun, ada satu janji yang telah disepakati, yaitu mereka tidak boleh menceritakan
bahwa asal-usul Puteri dari seekor ikan. Jika janji itu dilanggar maka akan
terjadi petaka dahsyat.
Setelah
sampai di desanya, gemparlah penduduk desa melihat gadis cantik jelita bersama
petani tersebut. “Dia mungkin bidadari yang turun dari langit,” gumam mereka.
Petani merasa sangat bahagia dan tenteram. Sebagai suami yang baik, ia terus
bekerja untuk mencari nafkah dengan mengolah sawah dan ladangnya dengan tekun
dan ulet. Karena ketekunan dan keuletannya, petani itu hidup tanpa kekurangan
dalam hidupnya. Banyak orang iri, dan mereka menyebarkan sangkaan buruk yang
dapat menjatuhkan keberhasilan usaha petani. “Aku tahu Petani itu pasti
memelihara makhluk halus! ” kata seseorang kepada temannya. Hal itu sampai ke
telinga Petani dan Puteri. Namun mereka tidak merasa tersinggung, bahkan
semakin rajin bekerja.
Setahun
kemudian, kebahagiaan Petani dan istri bertambah, karena istri Petani
melahirkan seorang bayi laki-laki. Ia diberi nama Putera. Kebahagiaan mereka
tidak membuat mereka lupa diri. Putera tumbuh menjadi seorang anak yang sehat
dan kuat. Ia menjadi anak manis tetapi agak nakal. Ia mempunyai satu kebiasaan
yang membuat heran kedua orang tuanya, yaitu selalu merasa lapar. Makanan yang
seharusnya dimakan bertiga dapat dimakannya sendiri.
Lama kelamaan,
Putera selalu membuat jengkel ayahnya. Jika disuruh membantu pekerjaan orang
tua, ia selalu menolak. Istri Petani selalu mengingatkan Petani agar bersabar
atas ulah anak mereka. “Ya, aku akan bersabar, walau bagaimanapun dia itu anak
kita!” kata Petani kepada istrinya. “Syukurlah, kanda berpikiran seperti itu.
Kanda memang seorang suami dan ayah yang baik,” puji Puteri kepada suaminya.
Memang kata
orang, kesabaran itu ada batasnya. Hal ini dialami oleh Petani itu. Pada suatu hari,
Putera mendapat tugas mengantarkan makanan dan minuman ke sawah di mana ayahnya
sedang bekerja. Tetapi Putera tidak memenuhi tugasnya. Petani menunggu
kedatangan anaknya, sambil menahan haus dan lapar. Ia langsung pulang ke rumah.
Di lihatnya Putera sedang bermain bola. Petani menjadi marah sambil menjewer
kuping anaknya. “Anak tidak tau diuntung ! Tak tahu diri ! Dasar anak ikan
!,” umpat si Petani tanpa sadar telah mengucapkan kata pantangan itu.
Setelah
petani mengucapkan kata-katanya, seketika itu juga anak dan istrinya hilang
lenyap. Tanpa bekas dan jejak. Dari bekas injakan kakinya, tiba-tiba
menyemburlah air yang sangat deras dan semakin deras. Desa Petani dan desa
sekitarnya terendam semua. Air meluap sangat tinggi dan luas sehingga membentuk
sebuah telaga. Dan akhirnya membentuk sebuah danau. Danau itu akhirnya dikenal
dengan nama Danau Toba. Sedangkan pulau kecil di tengahnya dikenal dengan nama
Pulau Samosir.
3. SUMATERA
BARAT
Malin Kundang
Pada suatu hari, hiduplah sebuah
keluarga di pesisir pantai wilayah Sumatra . Keluarga
itu mempunyai seorang anak yang diberi nama Malin Kundang. Karena kondisi
keluarga mereka sangat memprihatinkan, maka ayah malin memutuskan untuk pergi
ke negeri seberang.
Besar harapan malin dan ibunya, suatu
hari nanti ayahnya pulang dengan membawa uang banyak yang nantinya dapat untuk
membeli keperluan sehari-hari. Setelah berbulan-bulan lamanya ternyata ayah
malin tidak kunjung datang, dan akhirnya pupuslah harapan Malin Kundang dan
ibunya.
Setelah Malin Kundang beranjak dewasa,
ia berpikir untuk mencari nafkah di negeri seberang dengan harapan nantinya
ketika kembali ke kampung halaman, ia sudah menjadi seorang yang kaya raya.
Akhirnya Malin Kundang ikut berlayar bersama dengan seorang nahkoda kapal
dagang di kampung halamannya yang sudah sukses.
Selama berada di kapal, Malin Kundang
banyak belajar tentang ilmu pelayaran pada anak buah kapal yang sudah
berpengalaman. Malin belajar dengan tekun tentang perkapalan pada
teman-temannya yang lebih berpengalaman, dan akhirnya dia sangat mahir dalam hal
perkapalan.
Banyak pulau sudah dikunjunginya, sampai
dengan suatu hari di tengah perjalanan, tiba-tiba kapal yang dinaiki Malin
Kundang di serang oleh bajak laut. Semua barang dagangan para pedagang yang
berada di kapal dirampas oleh bajak laut. Bahkan sebagian besar awak kapal dan
orang yang berada di kapal tersebut dibunuh oleh para bajak laut. Malin Kundang
sangat beruntung dirinya tidak dibunuh oleh para bajak laut, karena ketika
peristiwa itu terjadi, Malin segera bersembunyi di sebuah ruang kecil yang
tertutup oleh kayu.
Malin Kundang terkatung-katung ditengah
laut, hingga akhirnya kapal yang ditumpanginya terdampar di sebuah pantai.
Dengan sisa tenaga yang ada, Malin Kundang berjalan menuju ke desa yang
terdekat dari pantai. Sesampainya di desa tersebut, Malin Kundang ditolong oleh
masyarakat di desa tersebut setelah sebelumnya menceritakan kejadian yang
menimpanya. Desa tempat Malin terdampar adalah desa yang sangat subur. Dengan
keuletan dan kegigihannya dalam bekerja, Malin lama kelamaan berhasil menjadi
seorang yang kaya raya. Ia memiliki banyak kapal dagang dengan anak buah yang
jumlahnya lebih dari 100 orang. Setelah menjadi kaya raya, Malin Kundang
mempersunting seorang gadis untuk menjadi istrinya.
Setelah beberapa lama menikah, Malin dan
istrinya melakukan pelayaran dengan kapal yang besar dan indah disertai anak
buah kapal serta pengawalnya yang banyak. Ibu Malin Kundang yang setiap hari
menunggui anaknya, melihat kapal yang sangat indah itu, masuk ke pelabuhan. Ia
melihat ada dua orang yang sedang berdiri di atas geladak kapal. Ia yakin kalau
yang sedang berdiri itu adalah anaknya Malin Kundang beserta istrinya.
Malin
Kundang pun turun dari kapal. Ia disambut oleh ibunya. Setelah cukup dekat,
ibunya melihat belas luka dilengan kanan orang tersebut, semakin yakinlah
ibunya bahwa yang ia dekati adalah Malin Kundang. "Malin Kundang, anakku,
mengapa kau pergi begitu lama tanpa mengirimkan kabar?", katanya sambil
memeluk Malin Kundang. Tetapi Kundang segera melepaskan pelukan ibunya dan
mendorongnya hingga terjatuh. "Wanita tak tahu diri, sembarangan saja mengaku
sebagai ibuku", kata Malin Kundang pada ibunya. Malin Kundang pura-pura
tidak mengenali ibunya, karena malu dengan ibunya yang sudah tua dan mengenakan
baju compang-camping. "Wanita itu ibumu?", Tanya istri Malin Kundang.
"Tidak, ia hanya seorang pengemis yang pura-pura mengaku sebagai ibuku
agar mendapatkan harta ku", sahut Malin kepada istrinya. Mendengar
pernyataan dan diperlakukan semena-mena oleh anaknya, ibu Malin Kundang sangat
marah. Ia tidak menduga anaknya menjadi anak durhaka. Karena kemarahannya yang
memuncak, ibu Malin menengadahkan tangannya sambil berkata "Oh Tuhan,
kalau benar ia anakku, aku sumpahi dia menjadi sebuah batu". Tidak berapa
lama kemudian angin bergemuruh kencang dan badai dahsyat datang menghancurkan
kapal Malin Kundang. Setelah itu tubuh Malin Kundang perlahan menjadi kaku dan
lama-kelamaan akhirnya berbentuk menjadi sebuah batu karang.
4. SUMATERA
SELATAN
Asal Mula Nama Palembang
Pada zaman
dahulu, daerah Sumatra Selatan dan sebagian Provinsi Jambi berupa hutan
belantara yang unik dan indah. Puluhan sungai besar dan kecil yang berasal dari
Bukit Barisan, pegunungan sekitar Gunung Dempo, dan Danau Ranau mengalir di
wilayah itu. Maka, wilayah itu dikenal dengan nama Batanghari Sembilan. Sungai
besar yang mengalir di wilayah itu di antaranya Sungai Komering, Sungai
Lematang, Sungai Ogan, Sungai Rawas, dan beberapa sungai yang bermuara di
Sungai Musi. Ada dua Sungai Musi yang bermuara di laut di daerah yang berdekatan,
yaitu Sungai Musi yang melalui Palembang dan Sungai Musi Banyuasin agak di
sebelah utara.
Karena
banyak sungai besar, dataran rendah yang melingkar dari daerah Jambi, Sumatra
Selatan, sampai Provinsi Lampung merupakan daerah yang banyak mempunyai danau
kecil. Asal mula danau-danau kecil itu adalah rawa yang digenangi air laut saat
pasang.
Sedangkan
kota Palembang yang dikenal sekarang menurut sejarah adalah sebuah pulau di
Sungai Melayu. Pulau kecil itu berupa bukit yang diberi nama Bukit Seguntang Mahameru.
Keunikan
tempat itu selain hutan rimbanya yang lebat dan banyaknya danau-danau kecil,
dan aneka bunga yang tumbuh subur, sepanjang wilayah itu dihuni oleh seorang
dewi bersama dayang-dayangnya. Dewi itu disebut Putri Kahyangan. Sebenarnya,
dia bernama Putri Ayu Sundari. Dewi dan dayang-dayangnya itu mendiami hutan
rimba raya, lereng, dan puncak Bukit Barisan serta kepulauan yang sekarang
dikenal dengan Malaysia. Mereka gemar
datang ke daerah
Batanghari Sembilan untuk bercengkerama
dan mandi di danau, sungai yang jernih, atau pantai yang luas, landai, dan
panjang.
Karena banyaknya sungai yang bermuara ke
laut, maka pada zaman itu para pelayar mudah masuk melalui sungai-sungai itu
sampai ke dalam, bahkan sampai ke kaki pegunungan, yang ternyata daerah itu
subur dan makmur. Maka terjadilah komunikasi antara para pedagang termasuk
pedagang dari Cina dengan penduduk setempat. Daerah itu menjadi ramai oleh
perdagangan antara penduduk setempat dengan pedagang. Akibatnya, dewi-dewi dari
kahyangan merasa terganggu dan mencari tempat lain.
Sementara itu, orang-orang banyak datang
di sekitar Sungai Musi untuk membuat rumah di sana . Karena Sumatra Selatan merupakan
dataran rendah yang berawa, maka penduduknya membuat rumah yang disebut dengan
rakit.
Saat itu Bukit Seguntang Mahameru
menjadi pusat perhatian manusia karena tanahnya yang subur dan aneka bunga
tubuh di daerah itu. Sungai Melayu tempat Bukit Seguntang Mahameru berada juga
menjadi terkenal.
Oleh karena itu, orang yang telah
bermukim di Sungai Melayu, terutama penduduk kota
Palembang ,
sekarang menamakan diri sebagai penduduk Sungai Melayu, yang kemudian berubah
menjadi penduduk Melayu.
Menurut bahasa Melayu tua, kata lembang
berarti dataran rendah yang banyak digenangi air, kadang tenggelam kadang
kering. Jadi, penduduk dataran tinggi yang hendak ke Palembang sering mengatakan akan ke Lembang.
Begitu juga para pendatang yang masuk ke Sungai Musi mengatakan akan ke
Lembang.
Alkisah ketika Putri Ayu Sundari dan
pengiringnya masih berada di Bukit Seguntang Mahameru, ada sebuah kapal yang
mengalami kecelakaan di pantai Sumatra Selatan. Tiga orang kakak beradik itu
ada*lah putra raja Iskandar Zulkarnain. Mereka selamat dari kecelakaan dan
terdampar di Bukit Seguntang Mahameru.
Mereka
disambut Putri Ayu Sundari. Putra tertua Raja Iskandar Zulkarnain, Sang Sapurba
kemudian menikah dengan Putri Ayu Sundari dan kedua saudaranya menikah dengan
keluarga putri itu.
Karena
Bukit Seguntang Mahameru berdiam di Sungai Melayu, maka Sang Sapurba dan
istrinya mengaku sebagai orang Melayu. Anak cucu mereka kemudian berkembang dan
ikut kegiatan di daerah Lembang. Nama Lembang semakin terkenal. Kemudian ketika
orang hendak ke Lembang selalu mengatakan akan ke Palembang. Kata pa dalam
bahasa Melayu tua menunjukkan daerah atau lokasi. Pertumbuhan ekonomi semakin
ramai. Sungai Musi dan Sungai Musi Banyuasin menjadi jalur perdagangan kuat
terkenal sampai ke negara lain. Nama
Lembang pun berubah menjadi Palembang
Dalam sejarah lain dikisahkan kata Palembang berasal dari
kata Palimbangan yang berarti aktivitas orang yang melimbang/menambang emas di
sekitar Sungai Musi.
5. KEPULAUAN
RIAU
Putri Pandan Berduri
Alkisah
pada jaman dulu di Pulau Bintan, Kepulauan Riau, hiduplah orang orang
Suku Laut yang dipimpin oleh Batin Lagoi. Pemimpin Suku Laut ini merupakan
seorang yang santun dan memimpin dengan adil. Tutur katanya yang lemah lembut
terhadap siapa saja membuat masyarakat Suku Laut sangat mencintai pemimpin
mereka itu.
Guna mengetahui keadaan rakyatnya, Batin
Lagoi senantiasa berkeliling. Pada suatu hari, Batin Lagoi berjalan menyusuri
pantai yang disekitarnya penuh ditumbuhi semak pandan. Sayup sayup telinga
Batin Lagoi menangkap suara tangisan bayi. “Anak siapa itu yang menangis di
tempat seperti ini ?’, pikirnya heran sambil memandang sekeliling. Karena ia
tak melihat seorangpun, Batin Lagoi meneruskan langkahnya.
Baru beberapa langkah, Batin Lagoi
kembali mendengar suara tangisan bayi yang kini semakin jelas. Batin Lagoi
kembali memandang sekeliling, namun ia tak jua melihat seorangpun disana.
Karena penasaran, Batin Lagoi mengikuti asal suara tangisan yang membawanya ke
semak semak pandan. Batin Lagoi menginjak semak semak itu dengan hati hati.
Suara tangisan bayi terdengar semakin keras. Batin Lagoi tercengang melihat
seorang bayi perempuan yang diletakkan diatas dedaunan yang kini berada di
depannya.
Rasa heran
kembali menyergap Batin Lagoi. ‘Siapa gerangan yang meletakkan bayinya disini
?’, gumamnya pelan. Batin Lagoi terdiam sejenak. Setelah memastikan tak ada
orang di sekitar situ, Batin Lagoi memutuskan untuk membawa pulang bayi
perempuan yang cantik itu. Sang bayipun
berhenti menangis ketika Batin Lagoi menggendongnya.
Batin Lagoi merawat bayi perempuan itu
dengan penuh kasih sayang bak anaknya sendiri. Terkadang ia merasa bayi itu memang
diberikan Tuhan untuknya. Bayi perempuan yang diberinya nama Putri Pandan
Berduri itu sungguh membawa kebahagiaan bagi Batin Lagoi yang selama ini hidup
sendiri.
Tak terasa waktu berlalu begitu cepat.
Putri Pandan Berduri telah tumbuh menjadi seorang gadis yang cantik jelita.
Bukan hanya parasnya yang menawan, Putri Pandan Berduri juga memiliki sikap
yang sangat anggun dan santun layaknya seorang putri. Tutur katanya yang lembut
membuat masyarakat Suku Laut mencintainya.
Banyak pemuda yang terpikat akan
kecantikan Putri Pandan Berduri. Meski demikian tak seorangpun berani
meminangnya. Batin Lagoi memang berharap agar putrinya itu berjodoh dengan anak
seorang raja atau pemimpin suatu daerah.
Tersebutlah seorang pemimpin di Pulau
Galang yang memiliki dua orang putera bernama Julela dan Jenang Perkasa. Sedari
kecil kakak beradik itu hidup rukun. Kerukunan itu sirna ketika sang ayah
mengatakan bahwa sebagai anak tertua, Julela akan menggantikan dirinya sebagai
pemimpin di Pulau Galang kelak. Sejak itu, Julela berubah perangai menjadi
angkuh. Ia bahkan mengancam Jenang Perkasa agar selalu mengikuti setiap
perkataannya sebagai calon pemimpin.
Jenang Perkasa sungguh kecewa akan sikap
kakaknya. Akhirnya ia memutuskan untuk meninggalkan Pulau Galang. Berhari hari ia
berlayar tanpa mengetahui arah tujuan hingga tiba di Pulau Bintan. Jenang
Perkasa tak pernah mengaku sebagai anak pemimpin Pulau Galang. Sehari hari ia
bekerja sebagai pedagang seperti orang kebanyakan.
Sebagai seorang pendatang, Jenang
Perkasa cepat menyesuaikan diri. Sikapnya yang sopan dan gaya bahasanya yang halus membuat kagum
setiap orang. Mereka tak habis pikir bagaimana seorang pemuda biasa memiliki
sifat seperti itu. Akibatnya Jenang Perkasa menjadi bahan pembicaraan di
seluruh pulau.
Cerita tentang
Jenang Perkasa sampai juga di telinga Batin Lagoi. Ia sangat penasaran untuk
mengenal pemuda itu secara langsung. Agar tak mencolok, Batin Lagoi
menyelenggarakan acara makan malam dengan mengundang seluruh tokoh terkemuka di
Pulau Bintan. Ia juga mengundang Jenang
Perkasa dalam acara itu.
Jenang Perkasa yang sebenarnya heran
mengapa dirinya diundang Batin Lagoi, datang memenuhi undangan. Sejak
kedatangannya, Batin Lagoi senantiasa memperhatikan gerak gerik Jenang Perkasa.
Caranya bersikap, berbicara, bahkan sampai caranya bersantap diamati Batin
Lagoi diam diam. Tak dapat dipungkiri, Batin Lagoi sangat terkesan terhadap Jenang Perkasa. Terbersit dihatinya untuk menjodohkan Jenang Perkasa
dengan Putri Pandan Berduri. Batin Lagoi sepertinya lupa akan keinginannya
untuk menikahkan putrinya dengan seorang pangeran atau calon pemimpin.
Tak mau
membuang kesempatan, Batin Lagoi segera menghampiri Jenang Perkasa. ‘Wahai anak
muda, sudah lama aku mendengar kehalusan budi pekertimu..’, katanya membuka
percakapan. Jenang Perkasa hanya tersenyum sopan mendengar kata kata pemimpin
Pulau Bintan itu. “Malam ini aku telah membuktikkannya sendiri’, lanjut Batin
Lagoi sambil menatap Jenang Perkasa yang menunduk malu mendengar pujian Batin
Lagoi. “Aku pikir, alangkah senangnya hatiku jika kau bersedia kunikahkan
dengan putriku..”
Jenang
Perkasa sungguh terkejut mendengar tawaran Batin Lagoi. Ia mengusap usap lengannya untuk memastikan dirinya
tak sedang bermimpi. Ia sama sekali tak menyangka ayah seorang perempuan cantik
bernama Putri Pandan Berduri meminta kesediaan dirinya untuk dijadikan menantu.
Jenang Perkasa tentu saja tak mau membuang kesempatan emas itu. Ia segera
mengangguk setuju sambil tersenyum memandang Batin Lagoi.
Beberapa
hari kemudian Batin Lagoi menikahkan Putri Pandan Berduri dengan Jenang
Perkasa. Pesta besar digelar untuk merayakan pernikahan putri semata wayangnya
itu. Seluruh warga Pulau Bintan diundang untuk hadir. Para undangan merasa
senang melihat Putri Pandan Berduri bersanding dengan Jenang Perkasa yang
terlihat sangat serasi.
Putri Pandan Berduri hidup bahagia
dengan Jenang Perkasa. Apalagi tak lama kemudian, Batin Lagoi yang merasa sudah
tua mengangkat menantunya itu untuk menggantikan dirinya menjadi pemimpin di
Pulau Bintan. Jenang Perkasa yang memang anak seorang pemimpin itu rupanya
mewarisi bakat kepemimpinan ayahnya. Ia mampu menjadi pemimpin yang disegani
sekaligus dicintai rakyatnya. Ia juga menolak untuk kembali ketika warga Pulau
Galang yang mendengar cerita tentang dirinya memintanya untuk menggantikan
kakaknya.
Pernikahan Putri Pandan Berduri dengan
Jenang Perkasa dikaruniai tiga orang anak yang diberi nama dengan adat
kesukuan. Batin Mantang menjadi kepala suku di utara Pulau Bintan, Batin Mapoi
menjadi kepala suku di barat Pulau Bintan, dan Kelong menjadi kepala suku di
timur Pulau Bintan. Adapun adat suku asal mereka yaitu Suku Laut tetap menjadi
pedoman bagi mereka. Hingga kini Putri Pandan Berduri dan Jenang Perkasa yang
telah lama tiada masih tetap dikenang oleh Suku Laut di perairan Pulau Bintan.
6. RIAU
Legenda Ikan Patin
Pada zaman dahulu, di Tanah Melayu hidup
seorang nelayan tua bernama Awang Gading. Dia tinggal sendirian di tepi sebuah
sungai yang luas dan jernih. Walaupun hidup seorang diri, Awang Gading selalu
berbahagia. Dia mensyukuri setiap nikmat yang diberikan Tuhan. Hari-harinya
dihabiskan untuk bekerja mencari ikan dan kayu.
Suatu hari, Awang Gading mengail di
sungai. Sambil berdendang riang, dia menunggui kailnya. Burung-burung turut
berkicau menambah kegembiraan Awang Gading. Sayang, sudah berkali-kali umpannya
dimakan ikan, namun saat kailnya di tarik, ikannya terlepas lagi.
"Air
pasang telan ke ingsang, air surut telan ke perut,renggutlah....! Biar putus
jangan rabut," terdengar dendang Awang Gading sambil melempar pancingnya
kembali. Perlahan hari beranjak petang, namun tak seekor ikan pun di
perolehnya. "Alangkah tidak beruntungnya diriku hari ini," keluh
Awang Gading. Ia bergegas membereskan peralatan pancingnya dan berniat pulang.
Tiba-tiba terdengar suara tangis bayi, dengan penasaran Awang Gading mencari
asal suara tersebut. Tak lama kemudian, Awang Gading melihat bayi perempuan
tergolek di atas batu. Sepertinya dia baru saja di lahirkan oleh ibunya lalu
ditinggal pergi begitu saja.
"Anak
siapa gerangan? kasihan, ditinggal seorang diri di tepi sungai," gumam
Awang Gading kemudian membawa pulang bayi perempuan tersebut. Awang Gading
memberi nama bayi tersebut Dayang Kumunah. Sejak kehadiran Dayang, awang
bertambah rajin bekerja. Awang memberikan kasih sayang dan perhatian yang
melimpah untuk Dayang. Berbagai pengetahuan yang dimiliki ditularkannya kepada
Dayang. tak lupa pelajaran budi pekerti juga diberikannya. Kadang diajaknya
dayang mencari kayu atau mengail untuk mengenal alam secara lebih dekat.
Dayang
Kumunah tumbuh menjadi gadis yang sangat cantik dan berbudi. Dia juga rajin
membantu bapaknya. Sayang, Dayang Kumunah tidak pernah tertawa. Suatu hari,
seorang pemuda kaya bernama Awangku Usop singgah di rumah Awang Gading. Dia
terpesona saat melihat kecantikan Dayang Kumunah. Tak lama kemudian Awangku Usop melamar Dayang pada Awang
Gading. Lamaran Awangku Usop diterima, tetapi Dayang Kumunah mengajukan syarat,
"Kanda Usop, sebenarnya kita berasal dari dua dunia yang berbeda. Saya
berasal dari sungai dan mempunyai kebiasaan yang berlainan dengan manusia. Saya
akan menjadi istri yang baik, tetapi jangan minta sata untuk
tertawa,"pinta Dayang Kumunah. Awangku Usop menyetujui syarat tersebut.
Pernikahan
mereka diadakan dengan pesta yang sangat meriah, semua tetangga dan kerabat
kedua mempelai di undang. Aneka hidangan tersedia dengan melimpah. Seluruh
undangan gembira menyaksikan pasangan pengantin itu. Dayang Kumunah gadis yang
sangat cantik dan Awangku Usop seorang pemuda yang sangat tampan. Sungguh
pasangan yang serasi.
Awangku
Usop dan Dayang Kumunah hidup berbahagia. Namun kebahagiaan mereka tak
berlangsung lama. Beberapa minggu setelah pernikahan, Awang gading meninggal
dunia. Hingga berbulan-bulan Dayang Kumunah bersedih meskipun Awangku Usop
selalu berusaha membahagiakan hati istrinya tersebut. Untunglah, kesedihan
Dayang Kumunah segera terobati dengan kelahiran anak-anaknya yang berjumlah
lima orang. Meskipun kini telah memiliki lima orang anak, Awangku Usop merasa
kebahagiaannya belum lengkap sebelum melihat Dayang Kumunah tertawa.
Suatu
hari, anak bungsu mereka mulai dapat berjalan dengan tertatih-tatih. Semua anggota keluarga tertawa bahagia melihatnya,
kecuali Dayang Kumunah. Awangku Usop meminta Dayang kumunah untuk tertawa,
Dayang Kumunah menolaknya, namun suaminya terus mendesak. Akhirnya, Dayang pun
tertawa. Saat tertawa itu, tampaklah insang di mulut Dayang Kumunah yang
menandakan ia keturunan ikan. Setalah itu, dayang segera berlari ke sungai,
Awangku Usop beserta anak-anaknya heran dan mengikutinya. Perlahan-lahan tubuh
Dayang berubah menjadi ikan. Awangku Usop dan anak-anaknya ditinggalkannya.
Awangku Usop telah mengingkari janjinya dengan meminta Dayang Kumunah tertawa.
Awangku Usop segera menyadari
kekhilafannya dan meminta maaf. Dia meminta Dayang Kumunah kembali ke rumah
mereka. Namun, semua sudah sudah terlambat. Dayang Kumunah telah tejun ke
sungai. Dia telah menjadi ikan dengan bentuk badan cantik dan kulit mengilat
tanpa sisik. Mukanya menyerupai raut manusia. Ekornya seolah-olah sepasang kaki
yang bersilang. Orang-orang menyebutnya ikan patin.
Awangku Usop dan anak-anaknya sangat
bersedih. Mereka berjanji tidak akan makan ikan patin karena di anggap sebagai
keluarga mereka. Itulah sebabnya orang Melayu yang tidak makan ikan patin.
7. KEPULAUAN
BANGKA BELITUNG
Bujang Katak
Konon di zaman dahulu kala ada sebuah
dusun di Bangka Belitung hiduplah seorang nenek tua yang sangat
miskin......maka untuk menyambung hidupnya ia berladang yang juga merupakan
peninggalan orang tuanya.
Nenek tua ini hidup sebatang kara dan
saat orang orang sibuk bercocok tanam pada musim tanam si nenek yang tubuhnya
juga sudah lemah lebih banyak menghabiskan waktu untuk beristirahat sembari ia
kadang kadang menggarap ladangnya,dalam istirahatnya ia berkhayal ingin punya
seorang anak.
Ia berfikir jika memiliki seorang anak
maka ia tidak akan selelah ini untuk menggarap ladangnya sendirian.Saat siang
pun datang ia memilih pulang ke gubuk reotnya untuk benar benar beristirahat...
Saat itu ia duduk duduk didepan gubuknya
sembari matanya menerawang kembali memikirkan khayalannya yang juga disertai
doa agar Tuhan mengabulkan pintanya untuk mempunyai seorang anak walaupun hanya
berbentuk seperti katak.
Tiga hari kemudian nenek tua tersebut
merasa ada yang aneh dalam perutnya ,seperti ada benda yang bergerak gerak dan
ternyata Tuhan mengabulkan doanya karena nenek tua itu sedang mengandung.
Terdengarlah kabar itu oleh penduduk
kampung yang berfikiran bagaimana bisa nenek tua yang tanpa suami itu bisa
mengandung,mereka berfikir nenek tua itu sudah melakukan hal hal yang dilarang
alias tidak senonoh.
Nenek tua itu selalu menjadi bahan
pembicaraan penduduk dengan tuduhan yang tidak tidak.Tapi ia hanya bersabar dan
pada suatu malam terdengar teriakan dari dalam gubuk reot nenek tua yang
ternyata ingin melahirkan.Berdatanganlah para warga namun belum sempat mereka
masuk ke gubuk reot sudah terdengar tangisan bayi yang merupakan bayi nenek tua
renta itu.Sang bayi lahir dalam bentuk tubuh yang mirip katak lalu menjadi
bahan ejekan warga yang mengatakan bahwa nenek tua itu sudah berhubungan dengan
katak hingga bayinya mirip seperti katak.Namun perempuan tua itu menceritakan
kisahnya kepada warga perihal kelahiran putranya hingga akhirnya para warga
kembali kerumahnya masing masing.
Walaupun putranya lahir dalam
keadaan seperti katak tapi perempuan tua itu tetap bersyukur kepada Tuhan dan
berjanji merawat dan menyayangi anaknya sepenuh hati.
Hari hari terus berlalu tanpa terasa
putranya semakin dewasa dan penduduk kampung memanggilnya bujang katak karena
badannya yang mirip katak.Bujang katak dalam kesehariannya sangatlah rajin dan
tidak pernah keluar rumah kecuali membantu ibunya berladang.
Ibunya tidak pernah menceritakan tentang
asal usulnya lahir namun suatu hari bujang katak ingin ibunya menceritakan
tentang keadaan negerinya tersebut maka berceritalah ibunya .
Ibunya mengatakan bahwa negerinya ini dipimpin seorang Raja
yang mempunya 7 puteri yang cantik cantik.Mendengar hal tersebut bujang katak
langsung berkhayal andai ia bisa mempersunting salah satu dari mereka untuk
menjadi pendamping hidupnya.
Akhirnya bujang katak pun memberanikan
diri mengungkapkan keinginannya pada ibunya.Alangkah terkejutnya ibu bujang
katak saat mendengar keinginanya,karena mustahil baginya untuk mendapatka puteri
raja dengan kedaan tubuhnya yang mirip
katak.
Tapi karena Bujang katak terus memohon
maka sang ibu pun memberanikan diri untuk datang keistana Raja untuk
menyampaikan niatnya.
Maka keesokan harinya datanglah sang ibu
ke istana raja untuk menyampaikan niatnya.....Sesampainya disana karena tak
berani langsung bicara pada Raja tentang keinginanya maka ibunya berpantun
"Te...sekate menjadi gelang.Pe...Setempe nek madeh pesen Urang..."
Sang raja mengerti maksud perempuan tua
tersebut lalu memanggil ke 7 puterinya yang cantik cantik.Namun alangkah
sedihnya nasib nenek tua yang bukannya mendapatkan perlakuan sopan malah
diludahi satu persatu oleh puteri puteri raja itu kecuali si bungsu yang tak
tega melihat perlakuan kakak kakak nya....Melihat kejadian itu nenek tua pun
pulang dan menceritakan hal itu pada puteranya bujang katak.
Bujang katak saat mendengar
hal tersebut merasa sedih dan iba pada ibunya tapi ia tetap punya harapan dalam
hati karena ia yakin puteri bungsu mau menerima lamarannya karena puteri bungsu
tidak melakukan hal hal yang dilakukan oleh puteri puteri yang lainnya.Maka
datanglah bujang katak berserta ibunya kembali ke istana Raja.
Keesokan hari saat bujang katak
dan ibunya kembali ke istana raja maka tertawalah raja dan para pengawalnya
sembari mengejek bujang katak yang badannya mirip katak.Sembari kembali
memanggilkan puteri puterinya dan hal yang sama dilakukan oleh puteri puteri
raja yaitu meludahi bujang katak kecuali sang bungsu.Dalam hati sang bungsu ingin
menerima pinangan bujang katak namun ia takut mengungkapkan itu pada
ayahandanya.Sang Rajapun heran kenapa puteri bungsunya tidak meludahi bujang
katak lalu mengerti apa maksud puterinya .
Sang Raja akhirnya memberikan kesempatan
pada bujang katak namun dengan mengajukan persyaratan yang tidak masuk akal dan
sangat berat agar puterinya tidak bisa dipinang bujang katak yaitu dengan
membuat jembatan emas dari gubuknya ke istana Raja dalam waktu tujuh hari tujuh
malam.Setelah mendengar hal itu bujang katak pun menyetujuinya.
Pulanglah bujang katak dan ibunya kembali ke gubuk....Ibunya bertanya
pada puteranya bagaimana ia bisa mewujudkan syarat yang tak mungkin itu namun
bujang katak berusaha meyakinkan bahwa
jika Tuhan berkehendak maka tak ada yang tak mungkin.
Pergilah bujang katak kesuatu tempat
yang sepi untuk bertapa.....6 hari 6 malam sudah ia lewati namun belum juga ada
keajaiban....di hari ketujuh keajaiban yang dinantikan itu datang,tubuhnya yang
seperti katak tiba tiba menguning bersinar keemasan dan mengelupas.Bujang katak
berubah menjadi pemuda yang tampan dan gagah.Lalu kulitnya yang mengelupas itu
pun berubah menjadi emas dan saat ia kumpulkan berubah menjadi batangan
batangan emas.Sungguh keajaiban yang luar bisa dan bujang katak sangat
bersyukur pada Yang Maha Kuasa.
Lalu malam itu juga ia mangajak ibunya
itu menyusun batangan emas itu menjadi jembatan dari gubuknya hingga istana
Raja.
Saat pagi tiba sang Raja pun
terkagum melihat jembatan yang dibuat bujang katak lalu memanggil bujang katak
dan ibunya kembali ke istana.Ibu bujang katak beserta bujang katak kembali ke
istana namun alangkah kagetnya Sang Raja melihat pemuda yang begitu tampan
disebelah perempuan tua yang tak lain adalah ibu bujang katak.Sang raja lalu
bertanya siapakah pemuda tampan itu dan pemuda itupun menjawab bahwa ia adalah
bujang katak.Dipanggillah puteri bungsu raja dan puteri puteri lainya
.....Alangkah bahagianya putrei bungsu karena bujang katak adalah pilihan tepat
untuknya dan langsung meminangnya.Kakak Kakak puteri bungsupun menyesal karena
telah menolak dan meludahi bujang katak .Akhirnya pernikahan pun dilangsungkan
dengan mengadakan pesta tujuh hari tujuh malam.Kakak Kakak puteri bungsupun
akhirnya menyuruh para pengawal untuk menangkap katak katak yang ada disawah
karena mereka berfikir bahwa bujang katak berasal dari katak katak biasa di
sawah.
Mereka masing masing menyimpan satu
katak dalam lemari berharap 7 hari kemudian berubah menjadi pria tampan.Namun
alangkah terkejutnya mereka ketika membuka lemari bau busuk langsung menyebar
seistana karena katak katak itu mati dan berulat.Keenam puteri tersebut berlari
keluar kamar sambil muntah muntah karena bau busuk tersebut.Sang Raja yang
mengetahui perbuatan ke enam puterinya akhirnya memberi hukuman untuk
membersihkan kamar mereka masing masing.Sang Puteri bungsu hanya tersenyum
melihat kelakuan kakak kakaknya .
Waktu berlalu dan Sang Raja merasa semakin tua dan akhirnya
menyerahkan Tahtanya kepada bujang Katak.Mereka hidup bahagia dalam
istana....Bujang katak Ibunya Puteri bungsu dan keluarga Raja lainnya.
Bujang katak menjadi Raja yang bijaksana
dalam memimpin rakyatnya.
Cerita ini hanyalah dongeng namun
memiliki pesan pesan moral bahwa kita tidak boleh merendahkan orang lain dan
tidak bertindak bodoh.
8. BENGKULU
Legenda Ular n’Daung
Dahulu kala, di kaki sebuah gunung di
daerah Bengkulu hiduplah seorang wanita tua dengan tiga orang anaknya. Mereka
sangat miskin dan hidup hanya dari penjualan hasil kebunnya yang sangat sempit.
Pada suatu hari perempuan tua itu sakit keras.
Orang pintar di desanya itu meramalkan
bahwa wanita itu akan tetap sakit apabila tidak diberikan obat khusus. Obatnya
adalah daun-daunan hutan yang dimasak dengan bara gaib dari puncak gunung.
Alangkah sedihnya keluarga tersebut demi
mengetahui kenyataan itu. Persoalannya adalah bara dari puncak gunung itu konon
dijaga oleh seekor ular gaib. Menurut cerita penduduk desa itu, ular tersebut
akan memangsa siapa saja yang mencoba mendekati puncak gunung itu.
Diantara ketiga anak perempuan ibu tua
itu, hanya si bungsu yang menyanggupi persyaratan tersebut. Dengan perasaan
takut ia mendaki gunung kediaman si Ular n’Daung. Benar seperti cerita orang,
tempat kediaman ular ini sangatlah menyeramkan. Pohon-pohon sekitar gua itu
besar dan berlumut. Daun-daunnya menutupi sinar matahari sehingga tempat
tersebut menjadi temaram.
Belum habis rasa khawatir si Bungsu,
tiba-tiba ia mendengar suara gemuruh dan raungan yang keras. Tanah bergetar.
Inilah pertanda si Ular n’Daung mendekati gua kediamannya. Mata ular tersebut
menyorot tajam dan lidahnya menjulur-julur.
Dengan sangat ketakutan si Bungsu mendekatinya dan berkata, “Ular yang
keramat, berilah saya sebutir bara gaib guna memasak obat untuk ibuku yang
sakit. Tanpa diduga, ular itu menjawab dengan ramahnya, “bara itu akan
kuberikan kalau engkau bersedia menjadi isteriku!”
Si Bungsu menduga bahwa perkataan ular
ini hanyalah untuk mengujinya. Maka iapun menyanggupinya. Keesokan harinya
setelah ia membawa bara api pulang, ia pun menepati janjinya pada Ular n’Daung.
Ia kembali ke gua puncak gunung untuk diperisteri si ular.
Alangkah terkejutnya si bungsu
menyaksikan kejadian ajaib. Yaitu, pada malam harinya, ternyata ular itu
berubah menjadi seorang ksatria tampan bernama Pangeran Abdul Rahman Alamsjah.
Pada pagi
harinya ia akan kembali menjadi ular. Hal itu disebabkan oleh karena ia disihir
oleh pamannya menjadi ular. Pamannya tersebut menghendaki kedudukannya sebagai calon
raja.
Setelah
kepergian si bungsu, ibunya menjadi sehat dan hidup dengan kedua kakaknya yang
sirik. Mereka ingin mengetahui apa yang terjadi dengan si Bungsu. Maka
merekapun berangkat ke puncak gunung. Mereka tiba di sana diwaktu malam hari.
Alangkah
kagetnya mereka ketika mereka mengintip bukan ular yang dilihatnya tetapi
lelaki tampan. Timbul perasaan iri dalam
diri mereka. Mereka ingin memfitnah adiknya.
Mereka
mengendap ke dalam gua dan mencuri kulit ular itu. Mereka membakar kulit ular
tersebut. Mereka mengira dengan demikian ksatria itu akan marah dan mengusir adiknya
itu. Tetapi yang terjadi justru kebalikannya. Dengan dibakarnya kulit ular
tersebut, secara tidak sengaja mereka membebaskan pangeran itu dari kutukan.
Ketika
menemukan kulit ular itu terbakar, pangeran menjadi sangat gembira. Ia berlari
dan memeluk si Bungsu. Di ceritakannya bahwa sihir pamannya itu akan sirna
kalau ada orang yang secara suka rela membakar kulit ular itu.
Kemudian,
si Ular n’Daung yang sudah selamanya menjadi Pangeran Alamsjah memboyong si
Bungsu ke istananya. Pamannya yang jahat diusir dari istana. Si Bungsu pun
kemudian mengajak keluarganya tinggal di istana. Tetapi dua kakaknya yang sirik
menolak karena merasa malu akan perbuatannya.
9. JAMBI
Asal
Usul Negeri Jambi
Pada zaman dahulu, di Pulau Sumatera ada
seorang gadis cantik bernama Putri Pinang Manak. Putri itu sangat terkenal
bukan hanya karena kecantikan, namun juga karena sifatnya yang lemah-lembut dan
baik hati.
Putri Pinang memiliki kecantikan yang
sangat luar biasa. Kulitnya putih kemerah-merahan seperti namanya, yaitu bagai kulit
pinang yang masak. Siapa pun yang melihat kecantikan sang putrid pasti akan
terpesona.
Semua
penduduk negeri itu menyukai Putri Pinang. Para wanita, terutama yang seumur
dengannya ingin bersahabat dengannya. Sebaliknya, para pemuda dan pangeran ingin
mempersuntingnya.
Pada suatu
hari datanglah lamaran seorang raja yang kaya raya dan amat luas kekuasaannya.
Dia memiliki tambang emas dan perak. Tentu jika lamarannya ditolak, pasti sang
raja akan marah dan murka, bahkan mungkin akan timbul pertumpahan darah. Namun,
dengan demikian tuan putrid tidak menyukai raja tersebut. Konon karena raja itu
berwajah buruk.
Putri
Pinang bingung. Ia mencari akal bagaimana cara untuk menggagalkan lamaran raja.
Setelah diam sejenak, Putri Pinang berkata kepada utusan raja, “Baiklah,
lamaran aku terima tetapi ada dua syarat yang harus dipenuhi Sang Raja.”
“Apa saja
syaratnya Tuan Putri?” Tanya utusan raja.
“Syarat
pertama, Baginda raja harus dapat membuat istana yang indah dan megah berikut
isi perabotannya hanya dalam waktu satu malam. Mulai terbenam matahari sampai
ayam berkokok bersahut-sahutan.”
“Hamba akan
sampaikan, Sang Putri. Kemudian apa syarat yang kedua, Tuan Putri?” Tanya
utusan raja. Tuan putrid menjawab, “Syarat yang kedua, jika Baginda gagal
memenuhi syarat yang pertama, maka dia harus menyerahkan semua kekayaan dan
kerajaannya.”
Begitu
mendengar syarat yang kedua, utusan raja itu menjadi merah padam. Namun
demikian, ia tidak dapat berbuat apa-apa. Kemudian utusan raja itu segera
pulang dan menghadap Sang Raja.
Setelah
persyaratan yang diajukan Putri Pinang disampaikan kepada Sang Raja, ia sangat
terkejut karena Baginda raja menyanggupi syarat-syarat itu. Begitu Sang Raja
menyatakan kesanggupannya, penasihat raja berkata, “Wahai tuanku! Sadarkah tuan
resiko jika Tuan gagal memenuhi syarat tersebut? Tuan akan kehilangan seluruh
kekayaan alam dan kerajaannya.”
“Tidak
mengapa, bukankah sudah lama aku hidup seorang diri. Kini saatnya aku mengambil
seorang permaisuri. Aku sangat mencintai Putri Pinang dan saya yakin dapat
memenuhinya.”
Kemudian
Sang Raja mengumpulkan rakyat dan ahli pertukangan di kerajaan. Bahkan ia
menyewa dan berani membayar mahal para tukang dari luar negeri agar
pekerjaannya cepat selesai. Para tukang diperintah bekerja keras dan cepat
karena istana tersebut harus selesai dalam waktu satu malam.
Pembangunan
istana mulai dilaksanakan tepat ketika matahari terbenam. Beribu-ribu tukang
pandai dikerahkan sehingga terlihat terang benderang. Setiap saat raja
berkeliling memeriksa orang-orang yang sedang bekerja.
Raja tampak
bahagia karena tepat tengah malam separuh pembangunan istana telah selesai
dengan sempurna. Sebaliknya, Putri Pinang merasa sangat cemas dan khawatir.
Sebab permintaannya untuk membuat istana dalam waktu satu malam hanyalah
sekadar alas an yang dicari-cari belaka. Hal ini ia lakukan agar raja tidak menikahinya.
Sang Raja
bertambah bahagia ketika menjelang pagi dan istana hampir jadi. Sebaliknya,
Tuan Putri semakin cemas dan bingung. Makan tidak enak dan tidur pun tidak
nyenyak. Ia terus mencari akal dan tiba-tiba Tuan Putri mendapatkan akal.
Kemudian ia pergi ke kandang ayam. Ayam-ayam itu mengira hari telah siang.
Ayam-ayam itu pun berkokok berulang-ulang. Raja yang sedang memeriksa rakyat
dan para pekerja yang sedang bekerja itu terkejut.
Dengan
sangat berat hati Bagina berkata kepada rakyatnya dan para tukang, “Sudah,
hentikan pekerjaan ini!”
“Mengapa,
Baginda? Bukankah pekerjaan kita sudah hampir selesai?” Tanya salah seorang pekerja.
“betul
katamu, tapi kita telah kalah. Dalam perjanjian, istana ini sudah harus selesai
sebelum ayam berkokok,” jawab Baginda.
“Tetapi,
sebenarnya hari belum pagi, tidak seharusnya ayam-ayam berkokok. Sungguh aneh
…!” ujar para tukang.
“Sudahlah,
kembalilah kalian ke tempat masing-masing. Kita sudah gagal memenuhi
persyaratan Putri Pinang. Sebagaimana dalam perjanjian, batas selesainya adalah
sampai ayam berkokok bersahut-sahutan”, demikian kata raja.
Dengan
perasaan kecewa dan terpaksa, para pekerja akhirnya menghentikan semua
pekerjaan. Mereka kembali ke negeri asal masing-masing. Baginda raja tetap berdiri di
tempat semula. Hatinya hancur.
Dari balik
bangunan istana yang belum jadi, Putri Pinang datang menemui Baginda raja. Ia
berkata, “Baginda, Anda telah gagal memenuhi syarat saya maka sesuai dengan
kesepakatan yang telah dibuat, Baginda harus menyerahkan seluruh harta dan
kerajaan.”
Akhirnya, Baginda raja menyerahkan
segala kekayaan dan kerajaannya kepada Putri Pinang. Sejak saat itu negeri
timur berubah nama menjadi negeri Putri Pinang. Dan gadis cantik itu menjadi
rajanya. Orang-orang dari negeri lain menyebut negeri itu sebagai Negeri
Pinang. Sedang dalam bahasa Jawa, pinang itu berarti jambe. Dari situ para raja
di Jawa menyebut negeri itu sebagai kerajaan Jambe. Lama-lama sebutan Jambe berubah menjadi Jambi.
10. LAMPUNG
Buaya
Perompak
Alkisah, Sungai Tulang Bawang sangat
terkenal dengan keganasan buayanya. Setiap nelayan yang melewati sungai itu
harus selalu berhati-hati. Begitupula penduduk yang sering mandi dan mencuci di
tepi sungai itu. Menurut cerita, sudah banyak manusia yang hilang begitu saja
tanpa meninggalkan jejak sama sekali.
Pada suatu
hari, kejadian yang mengerikan itu terulang kembali. Seorang gadis cantik yang
bernama Aminah tiba-tiba hilang saat sedang mencuci di tepi sungai itu.
Anehnya, walaupun warga sudah berhari-hari mencarinya dengan menyusuri tepi
sungai, tapi tidak juga menemukannya. Gadis itu hilang tanpa meninggalkan jejak
sedikit pun. Sepertinya ia sirna bagaikan ditelan bumi. Warga pun berhenti melakukan
pencarian, karena menganggap bahwa Aminah telah mati dimakan buaya.
Sementara
itu, di sebuah tempat di dasar sungai tampak seorang gadis tergolek lemas. Ia
adalah si Aminah. Ia baru saja tersadar dari pingsannya.
“Ayah, Ibu,
aku ada di mana? gumam Aminah setengah sadar memanggil kedua orangtuanya.
Dengan
sekuat tenaga, Aminah bangkit dari tidurnya. Betapa terkejutnya ia ketika
menyadari bahwa dirinya berada dalam sebuah gua. Yang lebih mengejutkannya
lagi, ketika ia melihat dinding-dinding gua itu dipenuhi oleh harta benda yang tak
ternilai harganya. Ada permata, emas, intan, maupun pakaian indah-indah yang
memancarkan sinar berkilauan diterpa cahaya obor yang menempel di
dinding-dinding gua.
“Wah,
sungguh banyak perhiasan di tempat ini. Tapi, milik siapa ya?” tanya Aminah
dalam hati.
Baru saja
Aminah mengungkapkan rasa kagumnya, tiba-tiba terdengar sebuah suara lelaki
menggema.
“Hai, Gadis
rupawan! Tidak usah takut. Benda-benda ini adalah milikku.”
Alangkah
terkejutnya Aminah, tak jauh dari tempatnya duduk terlihat samar-samar seekor
buaya besar merangkak di sudut gua.
“Anda
siapa? Wujud anda buaya, tapi kenapa bisa berbicara seperti manusia?” tanya
Aminah dengan perasaan takut.
“Tenang,
Gadis cantik! Wujudku memang buaya, tapi sebenarnya aku adalah manusia seperti
kamu. Wujudku dapat berubah menjadi manusia ketika purnama tiba.,” kata Buaya
itu.
“Kenapa
wujudmu berubah menjadi buaya?” tanya Aminah ingin tahu.
“Dulu, aku
terkena kutukan karena perbuatanku yang sangat jahat. Namaku dulu adalah Somad,
perampok ulung di Sungai Tulang Bawang. Aku selalu merampas harta benda setiap
saudagar yang berlayar di sungai ini. Semua hasil rampokanku kusimpan dalam gua
ini,” jelas Buaya itu.
“Lalu,
bagaimana jika Anda lapar? Dari mana Anda memperoleh makanan?” tanya Aminah.
“Kalau aku
butuh makanan, harta itu aku jual sedikit di pasar desa di tepi Sungai Tulang
Bawang saat bulan purnama tiba. Tidak seorang penduduk pun yang tahu bahwa aku
adalah buaya jadi-jadian. Mereka juga tidak tahu kalau aku telah membangun
terowongan di balik gua ini. Terowongan itu menghubungkan gua ini dengan desa
tersebut,” ungkap Buaya itu.
Tanpa
disadarinya, Buaya Perompak itu telah membuka rahasia gua tempat kediamannya.
Hal itu tidak disia-siakan oleh Aminah. Secara seksama, ia telah menyimak dan
selalu akan mengingat semua keterangan yang berharga itu, agar suatu saat kelak
ia bisa melarikan diri dari gua itu.
“Hai, Gadis
Cantik! Siapa namamu?” tanya Buaya itu.
“Namaku
Aminah. Aku tinggal di sebuah dusun di tepi Sungai Tulang Bawang,” jawab
Aminah.
“Wahai,
Buaya! Bolehkah aku bertanya kepadamu?” tanya Aminah
“Ada apa
gerangan, Aminah? Katakanlah!” jawab Buaya itu.
“Mengapa
Anda menculikku dan tidak memakanku sekalian?” tanya Aminah heran.
“Ketahuilah,
Aminah! Aku membawamu ke tempat ini dan tidak memangsamu, karena aku suka
kepadamu. Kamu adalah gadis cantik nan rupawan dan lemah lembut. Maukah Engkau
tinggal bersamaku di dalam gua ini?” tanya Buaya itu.
Mendengar
pertanyaan buaya itu, Aminah jadi gugup. Sejenak, ia terdiam dan termenung.
“Ma… maaf,
Buaya! Aku tidak bisa tinggal bersamamu. Orangtuaku pasti akan mencariku,”
jawab Aminah menolak.
Agar Aminah
mau tinggal bersamanya, buaya itu berjanji akan memberinya hadiah perhiasan.
“Jika
Engkau bersedia tinggal bersamaku, aku akan memberikan semua harta benda yang
ada di dalam gua ini. Akan tetapi, jika kamu menolak, maka aku akan
memangsamu,” ancam Buaya itu.
Aminah
terkejut mendengar ancaman Buaya itu. Namun, hal itu tidak membuatnya putus
asa. Sejenak ia berpikir mencari jalan agar dirinya bisa selamat dari terkaman
Buaya itu.
“Baiklah,
Buaya! Aku bersedia untuk tinggal bersamamu di sini,” jawab Aminah setuju.
Rupanya,
Aminah menerima permintaan Buaya itu agar terhindar dari acamana Buaya itu, di
samping sambil menunggu waktu yang tepat agar bisa melarikan diri dari gua itu.
Akhirnya,
Aminah pun tinggal bersama Buaya Perompak itu di dalam gua. Setiap hari Buaya
itu memberinya perhiasan yang indah dan mewah. Tubuhnya yang molek ditutupi
oleh pakaian yang terbuat dari kain sutra. Tangan dan lehernya dipenuhi oleh
perhiasan emas yang berpermata intan.
Pada suatu
hari, Buaya Perompak itu sedikit lengah. Ia tertidur pulas dan meninggalkan
pintu gua dalam keadaan terbuka. Melihat keadaan itu, Aminah pun tidak ingin
menyia-nyiakan kesempatan.
“Wah, ini
kesempatan baik untuk keluar dari sini,” kata Aminah dalam hati.
Untungnya
Aminah sempat merekam dalam pikirannya tentang cerita Buaya itu bahwa ada
sebuah terowongan yang menghubungkan gua itu dengan sebuah desa di tepi Sungai
Tulang Bawang. Dengan sangat hati-hati, Aminah pun keluar sambil
berjingkat-jingkat. Ia sudah tidak sempat berpikir untuk membawa harta benda
milik sang Buaya, kecuali pakaian dan perhiasan yang masih melekat di tubuhnya.
Setelah
beberapa saat mencari, Aminah pun menemukan sebuah terowongan yang sempit di balik
gua itu dan segera menelusurinya. Tidak lama kemudian, tak jauh dari depannya
terlihat sinar matahari memancar masuk ke dalam terowongan. Hal itu menandakan
bahwa sebentar lagi ia akan sampai di mulut terowongan. Dengan perasaan
was-was, ia terus menelusuri terowongan itu dan sesekali menoleh ke belakang,
karena khawatir Buaya Perompak itu terbangun dan membututinya. Ketika ia sampai
di mulut terowongan, terlihatlah di depannya sebuah hutan lebat. Alangkah
senangnya hati Aminah, karena selamat dari ancaman Buaya Perompak itu.
“Terima
kasih Tuhan, aku telah selamat dari ancaman Buaya Perompak itu,” Aminah berucap
syukur.
Setelah
itu, Aminah segera menyusuri hutan yang lebat itu. Setelah beberapa jauh
berjalan, ia bertemu dengan seorang penduduk desa yang sedang mencari rotan.
“Hai, Anak
Gadis! Kamu siapa? Kenapa berada di tengah hutan ini seorang diri?” tanya penduduk desa itu.
“Aku
Aminah, Tuan!” jawab Aminah.
Setelah
itu, Aminah pun menceritakan semua peristiwa yang dialaminya hingga ia berada
di hutan itu. Oleh karena merasa iba, penduduk desa itu pun mengantar Aminah
pulang ke kampung halamannya. Sesampai di rumahnya, Aminah pun memberikan
penduduk desa itu hadiah sebagian perhiasan yang melekat di tubuhnya sebagai
ucapan terima kasih.
Akhirnya,
Aminah pun selamat kembali ke kampung halamannya. Seluruh penduduk di
kampungnya menyambutnya dengan gembira. Ia pun menceritakan semua kejadian yang
telah menimpanya kepada kedua orangtuanya dan seluruh warga di kampungnya.
Sejak itu, warga pun semakin berhati-hati untuk mandi dan mencuci di tepi
Sungai Tulang Bawang.
11. DKI JAKARTA
Si
Pitung
Si Pitung adalah seorang pemuda yang
soleh dari Rawa Belong. Ia rajin belajar mengaji pada Haji Naipin. Selesai
belajar mengaji ia pun dilatih silat. Setelah bertahun- tahun kemampuannya
menguasai ilmu agama dan bela diri makin meningkat.
Pada waktu
itu Belanda sedang menjajah Indonesia. Si Pitung merasa iba menyaksikan
penderitaan yang dialami oleh rakyat kecil. Sementara itu, kumpeni (sebutan
untuk Belanda), sekelompok Tauke dan para Tuan tanah hidup bergelimang
kemewahan. Rumah dan ladang mereka dijaga oleh para centeng yang galak.
Dengan
dibantu oleh teman-temannya si Rais dan Jii, Si Pitung mulai merencanakan
perampokan terhadap rumah Tauke dan Tuan tanah kaya. Hasil rampokannya
dibagi-bagikan pada rakyat miskin. Di depan rumah keluarga yang kelaparan
diletakkannya sepikul beras. Keluarga yang dibelit hutang rentenir diberikannya
santunan. Dan anak yatim piatu dikiriminya bingkisan baju dan hadiah lainnya.
Kesuksesan
si Pitung dan kawan-kawannya dikarenakan dua hal. Pertama, ia memiliki ilmu
silat yang tinggi serta dikhabarkan tubuhnya kebal akan peluru. Kedua,
orang-orang tidak mau menceritakan dimana si Pitung kini berada. Namun demikian
orang kaya korban perampokan Si Pitung bersama kumpeni selalu berusaha membujuk
orang-orang untuk membuka mulut.
Kumpeni
juga menggunakan kekerasan untuk memaksa penduduk memberi keterangan. Pada
suatu hari, kumpeni dan tuan-tuan tanah kaya berhasil mendapat informasi
tentang keluarga si Pitung. Maka merekapun menyandera kedua orang tuanya dan si
Haji Naipin. Dengan siksaan yang berat akhirnya mereka mendapatkan informasi tentang
dimana Si Pitung berada dan rahasia kekebalan tubuhnya.
Berbekal
semua informasi itu, polisi kumpeni pun menyergap Si Pitung. Tentu saja Si
Pitung dan kawan-kawannya melawan. Namun malangnya, informasi tentang rahasia
kekebalan tubuh Si Pitung sudah terbuka. Ia dilempari telur-telur busuk dan
ditembak. Ia pun tewas seketika.Meskipun demikian untuk Jakarta, Si Pitung
tetap dianggap sebagai pembela rakyat kecil.
12. BANTEN
Pangeran Pande Gelang dan Putri Cadasari
DI tengah
sebidang kebun manggis, seorang putri yang cantik jelita duduk termenung. Sorot
matanya kosong, bibirnya terkatup rapat menandakan dia sedang bermuram durja.
Tidak jauh
dari tempat sang Putri duduk, melintaslah seorang lelaki paruh baya dengan
karung di pundaknya. Lelaki itu tertegun sesaat manakala melihat sang Putri.
Wajah lelaki itu tampak penuh kekhawatiran.
"Sampurasun,"
sapanya.
Sang Putri
tak menyahut. Dia benar-benar larut dalam kesedihannya, sehingga tidak
menyadari kehadiran lelaki itu.
"Sampurasun,"
Lelaki itu mengulang sapa.
"Ra...
rampes," Sang Putri terkejut. "Si... siapa?"
"Maaf
jika saya telah mengejutkan Tuan Putri," kata lelaki itu seraya
menundukkan kepalanya.
Sang Putri
tidak segera menjawab. Dia memperhatikan penuh seksama lelaki yang berdiri di
hadapannya. Wajah lelaki itu tidaklah tampan, kulitnya pun legam. Namun Putri
merasa yakin, lelaki itu adalah lelaki baik. Seumpama buah manggis: hitam dan
pahit kulitnya, tapi putih dan manis buahnya.
"Sedari
tadi tadi saya perhatikan, Tuan Putri tampak gundah gulana. Ada apa
gerangan?"
"Saya
kira tak ada guna menceritakan masalah yang saya hadapi kepada orang
lain."
"Kalau
begitu, maafkan saya telah mengganggu Tuan Putri. Saya berharap Tuan Putri
berkenan melupakan pertanyaan saya tadi," ujar lelaki itu seraya hendak
berlalu.
"Tunggu,
Kisanak. Jangan pergi dulu!" Sang Putri mencegah.
Lelaki itu
mengurungkan niatnya. Sejenak dia melirik sang Putri.
"Sekali
lagi maafkan saya," pinta sang Putri. "Bukan maksud saya
menyinggung perasaan Kisanak, apalagi menganggap rendah."
Beberapa
saat sang Putri terdiam. Kemudian tiba-tiba saja matanya membasah. Sang Putri
menangis.
Lelaki itu
duduk di dekat sang Putri. Hatinya diliputi keingintahuan yang besar tentang
apa yang sebenarnya terjadi.
"Siapa
nama Kisanak?" tanya sang Putri.
"Saya...
saya pembuat gelang. Pande gelang. Orang-orang sering memanggil saya dengan sebutan
Ki Pande."
"Baiklah,
Ki Pande. Saya akan bercenta, mudah-mudahan cerita saya akan menghilangkan
penasaran Ki Pande. Selama ini saya tidak pernah menceritakan masalah ini
kepada orang lain karena saya merasa hanya akan sia-sia belaka. Tidak akan ada
seorang pun yang bisa membantu saya," jelas sang Putri dengan mata
berkaca-kaca.
"Tapi
mengapa Tuan Putri mau menceritakannya kepada saya?"
"Saya
hanya ingin menghilangkan penasaran Ki Pande,"
Ki Pande
tidak berkata-kata lagi. Dia hanya menundukkan kepala dengan hati dipenuhi rasa
iba.
"Nama saya
Putri Arum ...." sang Putri memulai centanya.
Menurut
Putri Arum, dirinya sedang mendapat tekanan dari seorang pangeran bernama
Pangeran Cunihin. Meskipun tampan, Pangeran Cunihin sangatlah bengis dan kejam.
Selain itu, Pangeran Cunihin pun sangat berkuasa dan sakti mandraguna. Apa pun
yang diinginkannya harus terpenuhi. Semua titah tak bisa berbantah.
"Saya
sangat sedih, Ki, karena dia akan menjadikan saya sebagai istrinya," Putri
Arum mengakhiri ceritanya.
"Saya
ikut bersedih," Ki Pande tak kuasa menahan airmata. "Maafkan saya,
karena tidak banyak yang bisa saya lakukan untuk membantu Putri."
"Saya
mengerti, Ki. Tidak ada seorang pun yang bisa mengakhiri angkara Pangeran
Cunihin," ujar Putri Arum lirih. "Tadinya saya mengira wangsit yang
saya terima benar adanya."
"Wangsit?"
tanya Ki Pande.
"Ya.
Menurut wangsit, saya harus menenangkan diri di bukit manggis ini. Kelak
katanya akan ada seorang pangeran yang baik hati, manis budi pekertinya, dan
sakti mandraguna, yang datang menolong saya. Namun penantian ini hampir
sia-sia. Tiga hari lagi Pangeran Cunihin akan datang dan memaksa saya kawin
dengannya. Barangkali ini sudah suratan takdir saya, Ki, sebab setelah sekian
lama, dewa penolong yang hatinya seputih dan semanis buah manggis itu ternyata
tak kunjung tiba," tutur Putri Arum menghiba.
Mendengar
hal tersebut, KI Pande mengenyitkan dahi, seolah ada yang tengah dipikirkannya.
"Oh,
tadi Aki mengatakan bahwa tidak banyak yang bisa dilakukan untuk membantu
saya?" tanya Putri Arum, teringat kata-kata Ki Pande.
"Benar,"
jawab Ki Pande.
"Itu
berarti, meskipun sedikit ada yang bisa Aki lakukan untuk saya!" seru
Putri Arum, penuh harap.
"Barangkali
itu tidaklah berarti," kata Ki Pande.
"Katakan
saja, Ki," Putri Arum penasaran.
"Saya
hanya ingin menyumbang saran. Terima saja keinginan Pangeran Cunihin itu."
"Apa
Aki sudah gila? Bagaimana saya mau dipersunting lelaki yang sangat saya
benci?" sergah Putri Arum dengan wajah memerah.
Ki Pande
sangat terkejut dengan perubahan itu, tapi dia berusaha tetap tenang.
"Maksud saya, terima saja keinginan dia tapi dengan syarat."
"Dengan
syarat?" tanya Putri Arum setengah bergumam.
"Ya,
dengan syarat yang sangat susah dipenuhi."
"Hal
apa yang tidak bisa dilakukan Pangeran Cunihin? Dia sangat sakti mandraguna. Laut
saja bisa dikeringkannya!"
"Yakinlah,
Tuan Putri. Tidak semua orang akan jaya selamanya," Ki Pande berusaha
meyakinkan Putri Arum.
"Kalau
begitu, apa syarat yang Aki maksudkan?"
"Pangeran
Cunihin harus melubangi batu keramat supaya bisa dilalui manusia. Kemudian batu tersebut
harus diletakkan di pesisir pantai. Semuanya harus dikerjakan tidak lebih dan
tiga hari," Ki Pande menjelaskan.
"Bukankah
syarat itu sangat mudah dilakukan oleh Pangeran Cunihin?"
"Tapi
tidak semua orang mau melakukannya. Sebab dengan melubangi batu keramat,
setengah dari kemampuan orang tersebut akan hilang."
"Setelah
itu"" tanya Putri Arum.
"Serahkan
semuanya kepada saya!"
Mendengar
seluruh penjelasan Ki Pande, akhirnya Putri Arum menyetujui. Ki Pande kemudian
mengajak Putri Arum ke tempat tinggalnya, sambil membawa karung yang berisi
alat-alat membuat gelang.
Perjalanan
menuju tempat tinggal Ki Pande sangat melelahkan Putri Arum. Sudah hampir
setengah hari perjalanan, mereka belum juga sampai. Putri Arum pun jatuh pingsan di
atas sebuah batu cadas. Orang-orang kampung membantu Ki Pande rnembawa Putn
Arum ke rumah salah seorang penduduk dan merawatnya dengan penuh kasih sayang.
Salah seorang tetua kampung mengatakan bahwa Putri Arum bisa segera pulih jika
minum air gunung yang memancar melalui batu cadas.
Beberapa
orang kampung bergegas mencari sumber mata air batu cadas. Dan keajaiban pun
terjadi, Putri Arum kembali sehat setelah meminum air yang berasal dari batu
cadas itu. Penduduk kampung lalu memanggil Putri Arum dengan sebutan baru yaitu
Putri Cadasari.
Sementara
itu, Ki Pande tengah menyiapkan rencana baru. Dia membuat gelang yang sangat
besar, yang bisa dilalui manusia. Menurut Ki Pande, gelang tersebut akan
dipasang pada lingkaran lubang batu keramat yang dibuat Pangeran Cunihin.
Waktu yang
ditentukan Pangeran Cunihin pun tiba. Dia datang menemui Putri Cadasari dan
menagih jawaban. Putri Cadasan pun mengajukan syarat kepada Pangeran Cunihin.
"Hahaha,
itu syarat yang sangat gampang, Tuan Putri. Tapi apa maksud dari syarat
itu?" tanya Pangeran Cunihin.
Putri
Cadasari terkejut mendapat pertanyaan seperti Itu. Tapi dia segera menyembunyian
keterkejutannya. "Saya hanya ingin agar bulan madu kita tidak terganggu,
Pangeran. Duduk di atas batu sambil menikmati birunya laut, bukankah itu sangat
menyenangkan, Pangeran?" jelas Putri Cadasari.
"Wah,
Tuan Putri memang sangat romantis!" puji Pangeran Cunihin, pula.
Tak sampai
tiga hari dan tanpa halangan yang berarti, Pangeran Cunihin berhasil menemukan
batu keramat yang disyaratkan. Batu keramat itu kemudian dibawanya ke sebuah
pesisir yang sangat indah. Ki Pande dan Putri Cadasari diam-diam mengkuti dari
kejauhan. Di tempat yang terlindung mereka bersembunyi, menyaksikan apa yang
dilakukan Pangeran Cunihin.
Pangeran
Cunihin tampak duduk bersila di hadapan batu keramat. Dengan konsentrasi penuh,
Pangeran Cunihin menempelkan dua telapak tangannya ke batu keramat. Tiba-tiba
tangan Pangeran Cunihin bergetar. Sesaat kemudian batu keramat itu pun retak
dan berjatuhan. Sungguh ajaib, sebuah lubang yang sangat besar tercipta di
tengah batu keramat itu.
"Hahaha,
aku berhasil. Tuan Putri akan segera menjadi milikku!" Pangeran Cunihin
mengangkat kedua tangannya seraya berlari mencari Putri Cadasari.
Kesempatan
itu tak disia-siakan Ki Pande untuk memasang gelang besar pada batu keramat
yang telah berlubang Itu. Setelah itu dia kembali hendak bersembunyi, tapi
didengarnya sebuah bentakan keras.
"Heh
tua bangka, sedang apa kau di sini?!"
Ternyata
Pangeran Cunihin telah berada kembali di situ, bersama Putri Cadasari.
"0,
aku tahu. Rupanya kau sedang mengagumi mahakaryaku. Bukankah aku pernah
mengatakan kepadamu bahwa kau tidak pantas menjadi pemenang. Kau hanya pantas
menjadi pecundang! Hahaha!" Pangeran Cunihin tertawa puas. "Lihatlah,
sang Putri telah menjadi milikku. Kau tidak bisa lagi memilikinya!"
Putri
Cadasari terkejut heran mendengar omongan Pangeran Cunihin, seolah telah
mengenal Ki Pande sebelumnya. Namun belum lagi keheranan itu terjawab, Pangeran
Cunihin telah menarik tangan Putri Cadasari untuk melihat batu keramat yang
telah berlubang itu.
"Tuan
putri, lihatlah! Keinginan Tuan Putri telah terwujud. Sebuah batu besar
berlubang di pesisir pantai. Sungguh sebuah tempat yang indah dan
romantis," kata Pangeran Cunihin.
Putri
Cadasari berusaha bersikap tenang dan mencoba menunjukkan kegembiraan, w alau
di dalam hatinya dia merasa sangat takut impian buruknya menjadi pendamping
Pangeran Cunihin akan menjadi kenyataan.
"Apa
karena terlalu gembira saya seakan tidak bisa melihat bahwa batu ini telah
berlubang?" kata Putri Cadasan.
"Hm,
baiklah. Jika Tuan Putri tidak percaya, saya akan melewati batu ini untuk
membuktikannya," jawab Pangeran Cunihin.
Tanpa
berpikir panjang, Pangeran Cunihin kemudian berjalan melewati lubang batu
keramat itu. Tapi tiba-tiba Pangeran Cunihin merasakan tubuhnya sakit luar
biasa. Dia berteriak-teriak sekuat tenaga. Suaranya memecah angkasa. Lalu
seluruh kekuatannya pun menghilang. Dia terduduk lemah, tak kuasa berdiri.
Perlahan, Pangeran Cunihin berubah menjadi seorang tua renta tanpa daya, seolah
telah melewati lorong waktu. Sementara itu, KI Pande pun berubah menjadi
seorang pemuda tampan.
"Bagaimana
semua ini bisa terjadi?" Putri Cadasari tidak mengerti menyaksikan
keanehan-keanehan itu.
"Sebenarnya
ini semua akibat perbuatan Pangeran Cunihin. Dulu kami berteman. Tapi
setelah mendapat kesaktian dari guru, dia mencuri seluruh ilmu dan kesaktian
saya, lalu menjadikan saya sebagai seorang yang sudah tua. Saya kemudian
mencari kesaktian untuk mengembalikan keadaan saya. Ternyata hanya satu yang
bisa mengembalikan keadaan itu, yakni Jika Pangeran Cunihin melewati
gelang-gelang buatan saya," terang Ki Pande seraya menatap ke arah
Pangeran Cunihin yang terkulai tak berdaya.
"Kini
saya telah kembali seperti sedia kala. Ini semua karena jasa Tuan Putri. Untuk
itu saya menghaturkan terima kasih," ujar Pangeran Pande Gelang,
menggenggam tangan Putri Cadasari.
"Ah,
sayalah yang seharusnya berterima kasih, Pangeran. Ternyata wangsit yang saya
terima itu memang benar."
Akhirnya, keduanya
meninggalkan batu keramat berlubang itu. Beberapa waktu kemudian mereka pun
menikah dan hidup berbahagia sampai akhir hayatnya.
Tempat
mengambil batu keramat tersebut kemudian dikenal dengan kampung Kramatwatu, dan
batu besar berlubang di pesisir pantai kini dikenal dengan nama Karang Bolong.
Sedangkan tempat sang Putri melaksanakan wangsit di bukit manggis, kini orang
mengenalnya dengan kampung Pasir Manggu. Manggis dalam bahasa Sunda berarti
Manggu dan pasir berarti bukit. Sementara tempat Putri disembuhkan dari
sakitnya sampai kini bernama Cadasari di daerah Pandeglang, tempat Pangeran
Pande Gelang membuat gelang.
13. JAWA BARAT
Asal-Usul
Gunung Tangkuban Perahu
Pada jaman dahulu, tersebutlah kisah
seorang puteri raja di Jawa Barat bernama Dayang Sumbi.Ia mempunyai
seorang anak laki-laki yang diberi nama
Sangkuriang. Anak tersebut sangat gemar berburu.
Ia berburu dengan ditemani oleh Tumang, anjing
kesayangan istana. Sangkuriang tidak tahu, bahwa anjing itu adalah titisan dewa
dan juga bapaknya. Pada suatu hari Tumang tidak mau mengikuti perintahnya untuk
mengejar hewan buruan. Maka anjing tersebut diusirnya ke dalam hutan. Ketika
kembali ke istana, Sangkuriang menceritakan kejadian itu pada ibunya. Bukan
main marahnya Dayang Sumbi begitu mendengar cerita itu. Tanpa sengaja ia
memukul kepala Sangkuriang dengan sendok nasi yang dipegangnya. Sangkuriang
terluka. Ia sangat kecewa dan pergi mengembaraSetelah kejadian itu, Dayang
Sumbi sangat menyesali dirinya. Ia selalu berdoa dan sangat tekun bertapa. Pada
suatu ketika, para dewa memberinya sebuah hadiah. Ia akan selamanya muda
dan memiliki kecantikan abadi.
Setelah bertahun-tahun mengembara,
Sangkuriang akhirnya berniat untuk kembali ke tanah airnya. Sesampainya disana,
kerajaan itu sudah berubah total. Disana dijumpainya seorang gadis jelita, yang
tak lain adalah Dayang Sumbi. Terpesona oleh kecantikan wanita tersebut maka,
Sangkuriang melamarnya. Oleh karena
pemuda itu sangat tampan, Dayang Sumbi pun sangat terpesona padanya.
Pada suatu
hari Sangkuriang minta pamit untuk berburu. Ia minta tolong Dayang Sumbi untuk merapikan ikat kepalanya. Alangkah
terkejutnya Dayang Sumbi demi melihat bekas luka di kepala calon suaminya. Luka
itu persis seperti luka anaknya yang telah pergi merantau. Setelah lama diperhatikannya,
ternyata wajah pemuda itu sangat mirip dengan wajah anaknya. Ia menjadi sangat
ketakutan.
Maka kemudian ia mencari daya upaya
untuk menggagalkan proses peminangan itu. Ia mengajukan dua buah syarat.
Pertama, ia meminta pemuda itu untuk membendung sungai Citarum. Dan kedua, ia
minta Sangkuriang untuk membuat sebuah sampan besar untuk menyeberang sungai
itu. Kedua syarat itu harus sudah dipenuhi sebelum fajar menyingsing.
Malam itu Sangkuriang melakukan tapa. Dengan kesaktiannya ia mengerahkan mahluk-mahluk
gaib untuk membantu menyelesaikan pekerjaan itu. Dayang Sumbi pun diam-diam
mengintip pekerjaan tersebut. Begitu pekerjaan itu hampir selesai, Dayang Sumbi
memerintahkan pasukannya untuk menggelar kain sutra merah di sebelah timur kota .
Ketika menyaksikan warna memerah di
timur kota ,
Sangkuriang mengira hari sudah menjelang pagi. Ia pun menghentikan
pekerjaannya. Ia sangat marah oleh karena itu berarti ia tidak dapat memenuhi
syarat yang diminta Dayang Sumbi.
Dengan kekuatannya, ia menjebol
bendungan yang dibuatnya. Terjadilah banjir besar melanda seluruh kota . Ia pun kemudian
menendang sampan besar yang dibuatnya. Sampan itu melayang dan jatuh menjadi
sebuah gunung yang bernama “Tangkuban Perahu.”
14. JAWA
TENGAH
Legenda
Candi Prambanan
Alkisah, pada dahulu kala terdapat
sebuah kerajaan besar yang bernama Prambanan. Rakyatnya hidup tenteran dan
damai. Tetapi, apa yang terjadi kemudian? Kerajaan Prambanan diserang dan
dijajah oleh negeri Pengging. Ketentraman Kerajaan Prambanan menjadi terusik. Para tentara tidak mampu menghadapi serangan pasukan
Pengging. Akhirnya, kerajaan Prambanan dikuasai oleh Pengging, dan dipimpin
oleh Bandung Bondowoso.
Bandung Bondowoso seorang yang suka
memerintah dengan kejam. “Siapapun yang tidak menuruti perintahku, akan
dijatuhi hukuman berat!”, ujar Bandung Bondowoso pada rakyatnya. Bandung
Bondowoso adalah seorang yang sakti dan mempunyai pasukan jin. Tidak berapa
lama berkuasa, Bandung Bondowoso suka mengamati gerak-gerik Loro Jonggrang,
putri Raja Prambanan yang cantik jelita. “Cantik nian putri itu. Aku ingin dia
menjadi permaisuriku,” pikir Bandung Bondowoso.
Esok harinya, Bondowoso mendekati Loro
Jonggrang. “Kamu cantik sekali, maukah kau menjadi permaisuriku ?”, Tanya
Bandung Bondowoso kepada Loro Jonggrang. Loro Jonggrang tersentak, mendengar
pertanyaan Bondowoso. “Laki-laki ini lancang sekali, belum kenal denganku
langsung menginginkanku menjadi permaisurinya”, ujar Loro Jongrang dalam hati.
“Apa yang harus aku lakukan ?”. Loro Jonggrang menjadi kebingungan. Pikirannya
berputar-putar. Jika ia menolak, maka Bandung Bondowoso akan marah besar dan
membahayakan keluarganya serta rakyat Prambanan. Untuk mengiyakannya pun tidak
mungkin, karena Loro Jonggrang memang tidak suka dengan Bandung Bondowoso.
“Bagaimana, Loro Jonggrang ?” desak
Bondowoso. Akhirnya Loro Jonggrang mendapatkan ide. “Saya bersedia menjadi istri Tuan,
tetapi ada syaratnya,” Katanya. “Apa syaratnya? Ingin harta yang berlimpah?
Atau Istana yang megah?”. “Bukan itu, tuanku, kata Loro Jonggrang. Saya minta
dibuatkan candi, jumlahnya harus seribu buah. “Seribu buah?” teriak Bondowoso.
“Ya, dan candi itu harus selesai dalam waktu semalam.” Bandung Bondowoso
menatap Loro Jonggrang, bibirnya bergetar menahan amarah. Sejak saat itu
Bandung Bondowoso berpikir bagaimana caranya membuat 1000 candi. Akhirnya ia
bertanya kepada penasehatnya. “Saya percaya tuanku bias membuat candi tersebut
dengan bantuan Jin!”, kata penasehat. “Ya, benar juga usulmu, siapkan peralatan
yang kubutuhkan!”
Setelah
perlengkapan di siapkan. Bandung Bondowoso berdiri di depan altar batu. Kedua
lengannya dibentangkan lebar-lebar. “Pasukan jin, Bantulah aku!” teriaknya
dengan suara menggelegar. Tak lama kemudian, langit menjadi gelap. Angin
menderu-deru. Sesaat kemudian, pasukan jin sudah mengerumuni Bandung Bondowoso.
“Apa yang harus kami lakukan Tuan ?”, tanya pemimpin jin. “Bantu aku membangun
seribu candi,” pinta Bandung Bondowoso. Para jin segera bergerak ke sana
kemari, melaksanakan tugas masing-masing. Dalam waktu singkat bangunan candi
sudah tersusun hampir mencapai seribu buah.
Sementara itu, diam-diam Loro Jonggrang
mengamati dari kejauhan. Ia cemas, mengetahui Bondowoso dibantu oleh pasukan
jin. “Wah, bagaimana ini?”, ujar Loro Jonggrang dalam hati. Ia mencari akal. Para dayang kerajaan disuruhnya berkumpul dan ditugaskan
mengumpulkan jerami. “Cepat bakar semua jerami itu!” perintah Loro Jonggrang.
Sebagian dayang lainnya disuruhnya menumbuk lesung. Dung… dung…dung! Semburat
warna merah memancar ke langit dengan diiringi suara hiruk pikuk, sehingga
mirip seperti fajar yang menyingsing.
Pasukan jin mengira fajar sudah
menyingsing. “Wah, matahari akan terbit!” seru jin. “Kita harus segera pergi sebelum
tubuh kita dihanguskan matahari,” sambung jin yang lain. Para jin tersebut
berhamburan pergi meninggalkan tempat itu. Bandung Bondowoso sempat heran
melihat kepanikan pasukan jin.
Paginya,
Bandung Bondowoso mengajak Loro Jonggrang ke tempat candi. “Candi yang kau
minta sudah berdiri!”. Loro Jonggrang segera menghitung jumlah candi itu.
Ternyata jumlahnya hanya 999 buah!. “Jumlahnya kurang satu!” seru Loro
Jonggrang. “Berarti tuan telah gagal memenuhi syarat yang saya ajukan”. Bandung
Bondowoso terkejut mengetahui kekurangan itu. Ia menjadi sangat murka. “Tidak
mungkin…”, kata Bondowoso sambil menatap tajam pada Loro Jonggrang. “Kalau
begitu kau saja yang melengkapinya!” katanya sambil mengarahkan jarinya pada
Loro Jonggrang. Ajaib! Loro Jonggrang langsung berubah menjadi patung batu.
Sampai saat ini candi-candi tersebut masih ada dan disebut Candi Loro
Jonggrang. Karena terletak di wilayah Prambanan, Jawa Tengah, Candi Loro
Jonggrang dikenal sebagai Candi Prambanan
15. DI YOGYAKARTA
Kali
Gajah Wong
Alkisah, Ki Sapa Wira adalah seorang
abdi dalem Kraton Mataram yang selalu memandikan gajah milik Sultan Agung yang
bernama Kyaii Dwipangga. Suatu ketika, dia sakit bisul di ketiaknya sehingga
tidak bisa bergerak bebas. Terlebih lagi kalau harus memandikan seekor gajah.
Kemudian, Ki Sapa Wira pun meminta
tolong adik iparnya, Ki Kerti untuk memandikan Kyai Dwipangga. Sebenarnya, nama
lengkapnya adalah Ki Kerti Kertiyuda. Namun, karena terjangkit polio sejak
kecil sehingga berjalan meliuk-liuk pincang (peyok). Maka ia pun dipanggil Ki
Kerti Peyok.
"Kerti, tolong gantikan aku
memandikan Kyai Dwipangga," tukas Ki Sapa Wira.
"Siap, Ki," jawab Ki Kerti
Peyok.
"Tepuk
kaki belakangnya, tarik buntutnya," pesan Ki Sapa Wira.
Ki Kerti
Peyok manggut-manggut mendengar pesan tersebut.
Pagi-pagi
benar, Ki Kerti Peyok berangkat ke kali bersama Kyai Dwipangga. Di
tengah-tengah perjalanan, Ki Kerti Peyok tak lupa memberikan kelapa muda untuk
sarapan Kyai Dwipangga supaya gajah itu patuh kepadanya.
"Nih...
untuk kamu makan buat sarapan." Ki Kerti menyodorkan dua butir kelapa muda
yang disambut oleh belalai Kyai Dwipangga.
Tak
membutuhkan tempo lama untuk Kyai
Dwipangga membelah dua butir kelapa tersebut. Tinggal dibanting kemudian
terbelah. Dan dengan lahap Kyai Dwipangga memakannya.
Sesudah
kelapa tersebut habis dilahap, Ki Kerti memukul-mukulkan cemetinya ke pantat
Kyai Dwipangga supaya gajah itu berendam ke dalam air kali. Digosok-gosoknya gajah
tersebut supaya kotoran-kotoran di tubuhnya hilang. Setelahnya, Ki Kerti
membawa pulang gajah itu.
"Ki,
gajahnya sudah saya mandikan sampai bersih," Ki Kerti melapor kepada Ki
Sapa Wira.
"Ya,
terima kasih. Oiya, saya harap kamu mau memandikan Kyai Dwipangga lagi besok.
Maklumlah, gajah memang harus sering dimandikan, apalagi kalau musim kawin
seperti sekarang," jawab Ki Sapa Wira.
***
Seperti
hari sebelumnya, keesokan harinya, Ki Kerti membawa Kyai Dwipangga ke kali
untuk dimandikan. Namun, pagi ini berbeda dengan pagi kemarin karena cuaca
terlihat mendung. Meskipun hujan tidak turun.
Dengan
sigap, Ki Kerti membawa Kyai Dwipangga menuju ke sungai. Kali ini Ki Kerti kecewa,
karena kali terlihat dangkal. Ki Kerti memilih ke tengah sungai. Menurutnya,
tengah kali lebih dalam. Ketika hendak memandikan Kyai Dwipangga, tiba-tiba
terjadi banjir bandang dari arah utara. Ki Kerti Peyok dan Kyai Dwipangga
hanyut terbawa arus sungai sampai Laut Selatan. Keduanya pun tak bisa
diselamatkan.
Demi
mengenang peristiwa tersebut, Sultan Agung menamai kali itu "KALI GAJAH
WONG". Karena kali itu telah menghanyutkan gajah dan wong. Konon, tempat
Ki Kerti memandikan Kyai Dwipangga saat ini bersebelahan dengan bonbin
Gembiraloka.
16. JAWA TIMUR
Asal-Usul
Kota Banyuwangi
Pada zaman dahulu kala ada Subuah
kerajaan yang diperintah oleh Raja, Raja tersebut mempunyai seorang putra
bernama "Raden Banterang". Kegemaran Raden Banterang adalah berburu. Pada
suatu hari Raden Banterang pergi berburu di hutan disertai bersama – sama
dengan abdinya. Ketika di tengah hutan Raden Banterang sedang berjalan
sendirian, ia melihat seekor kijang melintas di depannya, segera mengejar
kijang itu hingga masuk hingga masuk ke hutan. Sehingga Ia
terpisah dengan para pengiringnya.
“Kemana seekor kijang tadi?”, kata Raden
Banterang terus mengejar kijang tersebut maka ia pun makin jauh masuk ke hutan.
Hingga Ia
tiba di sebuah sungai yang sangat jernih dan bening airnya. “Hem, segar benar
air sungai ini,” Raden Banterang minum air sungai itu, hingga melegakan
dahaganya. Namun di waktu meminum air tersebut baru, tiba-tiba ia dikejutkan
oleh kedatangan seorang gadis cantik jelita.
Melihat gadis tersebut Raden Banterang
memberanikan diri mendekati gadis cantik itu dan bertanya. “Siapakah engkau?”
tanya Raden Banterang. Raden Banterang pun memperkenalkan dirinya, dan Gadis
cantik itu menyambutnya. “Nama saya Surati berasal dari kerajaan Klungkung”.
“Saya berada di tempat ini karena
menyelamatkan diri dari serangan musuh. Ayah saya telah gugur dalam
mempertahankan mahkota kerajaan,” Jelasnya. Mendengar cerita gadis itu, Raden
Banterang terkejut bukan kepalang. Melihat penderitaan puteri Raja Klungkung
itu, Raden Banterang segera menolong dan mengajaknya pulan
ke istana. Tak lama kemudian mereka
menikah membangun keluarga bahagia.
Pada suatu
hari, puteri Raja Klungkung berjalan-jalan sendirian ke luar istana. “Surati!
Surati!”, panggil seorang laki-laki yang berpakaian compang-camping. Setelah
mengamati wajah lelaki itu, ia baru sadar bahwa yang berada di depannya adalah
kakak kandungnya bernama Rupaksa. Maksud kedatangan Rupaksa adalah untuk
mengajak adiknya untuk membalas dendam, karena Raden Banterang telah membunuh
ayahnya. Surati
menceritakan bahwa ia mau diperistri Raden Banterang karena ia telah jatuh
cinta kepadanya. Rupaksa marah mendengar jawaban adiknya. Namun, ia sempat
memberikan sebuah kenangan berupa ikat kepala kepada Surati. “Ikat kepala ini harus
kau simpan di bawah tempat tidurmu,” pesan Rupaksa.
Pertemuan
Surati dengan kakak kandungnya tidak diketahui oleh Raden Banterang,
dikarenakan Raden Banterang sedang berburu di hutan. Sewaktu Raden Banterang
berada di tengah hutan, ia terkejutkan oleh kedatangan seorang lelaki.
“Tuangku, Raden Banterang. Keselamatan Tuan terancam bahaya yang direncanakan
oleh istri tuan sendiri,” kata lelaki itu. “Tuan bisa melihat buktinya, dengan
melihat sebuah ikat kepala yang diletakkan di bawah tempat peraduannya. Ikat
kepala itu milik lelaki yang dimintai tolong untuk membunuh Tuan,” jelasnya. Mendengar laporan dari
laki laki tersebut Raden Banterang segera pulang ke istana. Dan dicarinya ikat
kepala yang telah diceritakan oleh laki laki yang menemui di hutan. Setelah di temukan ikat
kepala itu, maka di curigailah istrinya.
Karena
ketakutan Raden Banterang akan keselamatan dirinya dan kecurigaan akan
istrinya, maka ia berniat jahat terhadap istrinya. Tetapi istrinya pun
menjelaskan bahwa dari mana asal ikat kepala tersebut.
Setelah menjelaskan
semua hal tersebut, hati Raden Banterang tidak juga cair bahkan ia masih saja
menganggap istrinya berbohong. Dengan penuh kekecewaan Surati berkata
“Kakahanda ! Jika air sungai ini menjadi bening dan harum baunya, berarti
Adinda tidak bersalah! Tetapi, jika tetap keruh dan bau busuk, berarti Adinda
bersalah!” seru Surati. Raden Banterang menganggap ucapan istrinya itu
mengada-ada. Maka, Raden Banterang segera menghunus keris yang terselip di
pinggangnya. Bersamaan itu pula, Surati melompat ke tengah sungai lalu
menghilang.
Tak lama
setelah menghilangnya Surati, terjadi sebuah keajaiban. Bau yang harum merebak
di sekitar sungai. Melihat kejadian itu, Raden Banterang berseru dengan suara
gemetar. “Istriku tidak berdosa!” Dengan sangat menyesalnya Raden Banterang,
meratapi kematian Surati istrinya, dan menyesali kebodohannya.
Sejak saat
itu, sungai tersebut menjadi harum baunya, sejak saat itu cerita ini diangkat
menjadi cerita asal usul kota banyuwangi. Banyu artinya air dan wangi artinya
harum. Maka nama Banyuwangi kemudian menjadi nama salah satu kota di Jawa Timur
yaitu Kota Banyuwangi.
17. BALI
Asal-Usul
Nama Buleleng dan Singaraja
Di Bali, hidup seorang raja yang
bergelar Sri Bagening. Sang Raja memiliki banyak istri, dan istri
terakhirnya bernama Ni Luh Pasek. Ni Luh Pasek berasal dari Desa Panji, dan
masih keturunan Kyai Pasek Gobleng. Suatu waktu, Ni Luh Pasek mengandung.
Oleh suaminya, ia dititipkan kepada Kyai Jelantik Bogol. Tak berapa lama,
anaknya pun lahir. Anak itu diberi nama I Gede Pasekan. I Gede Pasekan
mempunyai wibawa besar sehingga sangat dicintai dan dihormati oleh pemuka
masyarakat maupun masyarakat biasa.
Suatu hari, ketika usianya menginjak dua
puluh tahun, ayahnya berkata padanya, “Anakku, sekarang pergilah engkau ke Den
Bukit di daerah Panji.”
“Mengapa ayah?”
“Karena di sanalah tempat kelahiran
ibumu.”
Sebelum berangkat, ayah angkatnya
memberikan dua buah senjata bertuah, yaitu sebilah keris bernama Ki Baru
Semang dan sebatang tombak bernama Ki Tunjung Tutur. Dalam perjalanannya, I
Gede Pasekan diiringi oleh empat puluh pengawal yang dipimpin Ki Dumpiung dan
Ki Dosot. Ketika sampai di daerah yang disebut Batu Menyan, mereka
bermalam dengan dijaga ketat oleh para pengawal secara bergantian.
Saat tengah
malam, tiba-tiba datang makhluk ajaib penghuni hutan. Dia mengangkat I Gede
Pasekan ke atas pundaknya sehingga I Gede Pasekan dapat melihat
pemandangan lepas ke lautan dan daratan yang terbentang di hadapannya.
Ketika dia memandang ke arah timur dan barat laut, ia melihat pulau yang
amat jauh. Ketika melihat ke arah selatan pemandangannya dihalangi oleh gunung.
Setelah makhluk itu pergi kemudian terdengar bisikan.
“I Gusti,
sesungguhnya apa yang telah engkau lihat akan menjadi daerah kekuasaanmu.”
Keesokan
harinya rombongan itu melanjutkan perjalanan. Meski sulit dan penuh
rintangan akhirnya rombongan I Gede Pasekan berhasil mencapai tujuan, yaitu
Desa Panji, tempat kelahiran ibunya.
Suatu hari,
ada sebuah perahu Bugis yang terdampar di pantai Panimbangan.Warga setempat
yang dimintai tolong tak mampu mengangkatnya.
Keesokan
harinya orang Bugis pemilik perahu itu meminta tolong pada I Gede Pasekan.
“Tolonglah kami, Tuan. Jika Tuan
berhasil mengangkat perahu kami, sebagian muatan itu akan kami serahkan
kepada Tuan sebagai upahnya.”
“Kalau itu keinginan kalian, saya akan
berusaha mengangkat perahu itu,” jawab I Gede Pasekan.
I Gede
Pasekan segera memusatkan pikiran. Dengan kekuatan gaibnya, perahu yang kandas
itu berhasil diangkatnya. Sebagai ungkapan rasa terima kasih, orang Bugis itu
memberikan hadiah berupa setengah dari isi perahu itu kepada I Gede Pasekan.
Di antara hadiah itu terdapat dua buah gong besar. Sejak saat itu I Gede
Pasekan menjadi orang kaya dan bergelar I Gusti Panji Sakti.
Kekuasaan I
Gede Pasekan mulai meluas dan menyebar sampai ke mana-mana. Dia pun
mendirikan kerajan baru di Den Bukit. Kira-kira abad ke-17, ibukota kerajaan
itu disebut orang dengan nama Sukasada. Kerajaaan I Gede Pasekan itu
berkembang hingga ke utara. Daerah itu banyak ditumbuhi pohon buleleng.
Oleh karena itu, pusat kerajaan beralih ke wilayah itu. Wilayah itu pun diberi nama Buleleng.
Di Buleleng dibangun sebuah istana megah
yang diberi nama Singaraja. Nama ini menunjukkan bahwa penghuninya adalah
seorang raja yang gagah perkasa laksana singa. Namun, ada pendapat yang
mengatakan bahwa nama Singaraja artinya tempat persinggahan raja. Barangkali ketika sang
Raja masih di Sukasada, sering singgah di sana. Jadi, kata Singaraja berasal dari kata singgah raja.
18. NUSA
TENGGARA BARAT
Batu
Golog
Pada jaman
dahulu di daerah Padamara dekat Sungai Sawing di Nusa Tenggara Barat hiduplah
sebuah keluarga miskin. Sang istri bernama Inaq Lembain dan sang suami bernama
Amaq Lembain
Mata pencaharian
mereka adalah buruh tani. Setiap hari mereka berjalan kedesa desa menawarkan
tenaganya untuk menumbuk padi.
Kalau Inaq
Lembain menumbuk padi maka kedua anaknya menyertai pula. Pada suatu hari, ia
sedang asyik menumbuk padi. Kedua anaknya ditaruhnya diatas sebuah batu ceper
didekat tempat ia bekerja.
Anehnya,
ketika Inaq mulai menumbuk, batu tempat mereka duduk makin lama makin menaik.
Merasa seperti diangkat, maka anaknya yang sulung mulai memanggil ibunya: “Ibu
batu ini makin tinggi.” Namun sayangnya Inaq Lembain sedang sibuk bekerja.
Dijawabnya, “Anakku tunggulah sebentar, Ibu baru saja menumbuk.”
Begitulah
yang terjadi secara berulang-ulang. Batu ceper itu makin lama makin meninggi
hingga melebihi pohon kelapa. Kedua anak itu kemudian berteriak sejadi-jadinya.
Namun, Inaq Lembain tetap sibuk menumbuk dan menampi beras. Suara anak-anak itu
makin lama makin sayup. Akhirnya suara itu sudah tidak terdengar lagi.
Batu Goloq
itu makin lama makin tinggi. Hingga membawa kedua anak itu mencapai awan. Mereka
menangis sejadi-jadinya. Baru saat itu Inaq Lembain tersadar, bahwa kedua
anaknya sudah tidak ada. Mereka dibawa naik oleh Batu Goloq.
Inaq
Lembain menangis tersedu-sedu. Ia kemudian berdoa agar dapat mengambil anaknya.
Syahdan doa itu terjawab. Ia diberi kekuatan gaib. dengan sabuknya ia akan
dapat memenggal Batu Goloq itu. Ajaib, dengan menebaskan sabuknya batu itu
terpenggal menjadi tiga bagian. Bagian pertama jatuh di suatu tempat yang
kemudian diberi nama Desa Gembong olrh karena menyebabkan tanah di sana
bergetar. Bagian ke dua jatuh di tempat yang diberi nama Dasan Batu oleh karena
ada orang yang menyaksikan jatuhnya penggalan batu ini. Dan potongan terakhir
jatuh di suatu tempat yang menimbulkan suara gemuruh. Sehingga tempat itu
diberi nama Montong Teker.
Sedangkan
kedua anak itu tidak jatuh ke bumi. Mereka telah berubah menjadi dua ekor
burung. Anak sulung berubah menjadi burung Kekuwo dan adiknya berubah menjadi
burung Kelik. Oleh karena keduanya berasal dari manusia maka kedua burung itu
tidak mampu mengerami telurnya.
19. NUSA
TENGGARA TIMUR
Suri
Ikun dan Dua Burung
Pada jaman dahulu, di pulau Timor , Nusa Tenggara Timur, hiduplah seorang petani
dengan isteri dan empat belas anaknya. Tujuh orang anaknya laki-laki dan tujuh
orang perempuan.Walaupun mereka memiliki kebun yang besar, hasil kebun tersebut
tidak mencukupi kebutuhan keluarga tersebut. Sebabnya adalah tanaman yang ada
sering dirusak oleh seekor babi hutan.Petani tersebut menugaskan pada anak
laki-lakinya untuk bergiliran menjaga
kebun mereka dari babi hutan. Kecuali Suri Ikun, keenam saudara laki-lakinya
adalah penakut dan dengki. Begita mendengar dengusan babi hutan, maka mereka
akan lari meninggalkan kebunnya.Lain halnya dengan Suri Ikun, begitu mendengar
babi itu datang, ia lalu mengambil busur dan memanahnya. Setelah hewan itu
mati, ia membawanya kerumah. Disana sudah menunggu saudara-saudaranya.
Saudaranya yang tertua bertugas membagi- bagikan daging babi hutan tersebut.
Karena dengkinya, ia hanya memberi Suri Ikun kepala dari hewan itu. Sudah tentu
tidak banyak daging yang bisa diperoleh dari bagian kepala. Selanjutnya, ia
meminta Suri Ikun bersamannya mencari gerinda milik ayahnya yang tertinggal di
tengah hutan. Waktu itu hari sudah mulai malam. Hutan tersebut menurut cerita di malam hari dihuni oleh para
hantu jahat. Dengan perasaan takut iapun berjalan mengikuti kakaknya. Ia tidak
tahu bahwa kakaknya mengambil jalan lain yang menuju kerumah. Tinggallah Suri
Ikun yang makin lama makin masuk ke tengah hutan. Berulang kali ia memanggil
nama kakaknya. Panggilan itu dijawab oleh hantu-hantu hutan. Mereka sengaja
menyesatkan Suri Ikun. Setelah berada
ditengah- tengah hutan lalu, hantu-hantu tersebut menangkapnya. Ia tidak
langsung dimakan, karena menurut hantu-hantu itu ia masih terlalu kurus. Ia
kemudian dikurung ditengah gua. Ia diberi makan dengan teratur. Gua itu gelap
sekali. Namun untunglah ada celah disampingnya, sehingga Suri Ikun masih ada
sinar yang masuk ke dalam gua. Dari celah tersebut Suri Ikun melihat ada dua
ekor anak burung yang kelaparan. Iapun membagi makanannya dengan mereka.
Setelah sekian tahun, burung- burung itupun tumbuh menjadi burung yang sangat
besar dan kuat. Mereka ingin mem- bebaskan
Suri Ikun. Pada suatu ketika, hantu-hantu itu membuka pintu gua, dua
burung tersebut menyerang dan mencederai hantu hantu tersebut. Lalu mereka
menerbangkan Suri Ikun ke daerah yang berbukit-bukit tinggi.
Dengan kekuatan gaibnya, Burung-burung
tersebut menciptakan istana lengkap dengan pengawal dan pelayan istana.
Disanalah untuk selanjutnya Suri Ikun berbahagia.
20. KALIMANTAN BARAT
Semangka
Emas
Pada zaman dahulu kala, di Sambas
hiduplah seorang saudagar yang kaya raya. Saudagar tersebut mempunyai dua orang
anak laki-laki. Anaknya yang sulung bernama Muzakir, dan yang bungsu bernama
Dermawan. Muzakir sangat loba dan kikir. Setiap hari kerjanya hanya
mengumpulkan uang saja. Ia tidak perduli kepada orang-orang miskin. Sebaliknya
Dermawan sangat berbeda tingkah lakunya. Ia tidak rakus dengan uang dan selalu
bersedekah kepada fakir miskin.
Sebelum meninggal, saudagar tersebut
membagi hartanya sama rata kepada kedua anaknya. Maksudnya agar anak-anaknya
tidak berbantah dan saling iri, terutama bila ia telah meninggal kelak.
Muzakir langsung membeli peti besi. Uang
bagiannya dimasukkan ke dalam peti tersebut, lalu dikuncinya. Bila ada orang
miskin datang, bukannnya ia memberi sedekah, melainkan ia tertawa
terbahak-bahak melihat orang miskin yang pincang, buta dan lumpuh itu. Bila
orang miskin itu tidak mau pergi dari rumahnya, Muzakir memanggil orang
gajiannya untuk mengusirnya. Orang-orang miskin kemudian berduyun-duyun datang
ke rumah Dermawan.
Dermawan selalu menyambut orang-orang
miskin dengan senang hati. Mereka dijamunya makan dan diberi uang karena ia
merasa iba melihat orang miskin dan melarat. Lama kelamaan uang Dermawan habis
dan ia tidak sanggup lagi membiayai rumahnya yang besar. Ia pun pindah ke rumah
yang lebih kecil dan harus bekerja. Gajinya tidak seberapa, sekedar cukup makan
saja. Tetapi ia sudah merasa senang dengan hidupnya yang demikian. Muzakir
tertawa terbahak-bahak mendengar berita Dermawan yang dianggapnya bodoh itu.
Muzakir telah membeli rumah yang lebih bagus dan kebun kelapa yang luas. Tetapi
Dermawan tidak menghiraukan tingkah laku abangnya.
Suatu hari Dermawan duduk-duduk
melepaskan lelah di pekarangan rumahnya. Tiba-tiba jatuhlah seekor burung pipit
di hadapannya. Burung itu mencicit-cicit kesakitan "Kasihan," kata
Dermawan. "Sayapmu patah, ya?" lanjut Dermawan seolah-olah ia
berbicara dengan burung pipit itu. Ditangkapnya burung tersebut, lalau
diperiksanya sayapnya. Benar saja, sayap burung itu patah. "Biar kucoba
mengobatimu," katanya. Setelah diobatinya lalu sayap burung itu dibalutnya
perlahan-lahan. Kemudian diambilnya beras. Burung pipit itu diberinya makan.
Burung itu menjadi jinak dan tidak takut
kepadanya. Beberapa hari kemudian, burung itu telah dapat mengibas-ngibaskan
sayapnya, dan sesaat kemudian ia pun terbang. Keesokan harinya ia kembali
mengunjungi Dermawan. Di paruhnya ada sebutir biji, dan biji itu diletakkannya
di depan Dermawan. Dermawan tertawa melihatnya. Biji itu biji biasa saja.
Meskipun demikian, senang juga hatinya menerima pemberian burung itu. Biji itu
ditanam di belakang rumahnya.
Tiga hari
kemudian tumbuhlah biji itu. Yang
tumbuh adalah pohon semangka. Tumbuhan itu dipeliharanya baik-baik sehingga
tumbuh dengan subur. Pada mulanya Dermawan menyangka akan banyak buahnya. Tentulah ia akan
kenyang makan buah semangka dan selebihnya akan ia sedekahkan. Tetapi aneh,
meskipun bunganya banyak, yang menjadi buah hanya satu. Ukuran semangka ini
luar biasa besarnya, jauh lebih dari semangka umumnya. Sedap kelihatannya dan
harum pula baunya. Setelah masak, Dermawan memetik buah semangka itu. Amboi,
bukan main beratnya. Ia terengah-engah mengangkatnya dengan kedua belah
tangannya. Setelah diletakkannya di atas meja, lalu diambilnya pisau. Ia
membelah semangka itu. Setelah semangka terbelah, betapa kagetnya Dermawan. Isi
semangka itu berupa pasir kuning yang bertumpuk di atas meja. Ketika
diperhatikannya sungguh-sungguh, nyatalah bahwa pasir itu adalah emas urai
murni. Dermawan pun menari-nari karena girangnya. Ia mendengar burung mencicit
di luar, terlihat burung pipit yang pernah ditolongnya hinggap di sebuah
tonggak. "Terima kasih! Terima kasih!" seru Dermawan. Burung itu pun
kemudian terbang tanpa kembali lagi.
Keesokan
harinya Dermawan memberli rumah yang bagus dengan pekarangan yang luas sekali.
Semua orang miskin yang datang ke rumahnya diberinya makan. Tetapi Dermawan
tidak akan jatuh miskin seperti dahulu, karena uangnya amat banyak dan hasil
kebunnya melimpah ruah. Rupanya hal ini membuat Muzakir iri hati. Muzakir yang
ingin mengetahui rahasia adiknya lalu pergi ke rumah Dermawan. Di sana
Dermawan menceritakan secara jujur kepadanya tentang kisahnya.
Mengetahui hal tersebut, MUzakir
langsung memerintahkan orang-orang gajiannya mencari burung yang patah kaki
atau patah sayapnya di mana-mana. Namun sampai satu minggu lamanya, seekor
burung yang demikian pun tak ditemukan. Muzakir sungguh marah dan tidak dapat
tidur. Keesokan paginya, Muzakir mendapat akal. Diperintahkannya seorang
gajiannya untuk menangkap burung dengan apitan. Tentu saja sayap burung itu
menjadi patah. Muzakir kemudian berpura-pura kasihan melihatnya dan membalut
luka pada sayap burung. Setelah beberapa hari, burung itu pun sembuh dan
dilepaskan terbang. Burung itu pun kembali kepada Muzakir untuk memberikan
sebutir biji. Muzakir sungguh gembira.
Biji
pemberian burung ditanam Muzakir di tempat yang terbaik di kebunnya. Tumbuh
pula pohon semangka yang subur dan berdaun rimbun. Buahnya pun hanya satu,
ukurannya lebih besar dari semangka Dermawan. Ketika dipanen, dua orang gajian
Muzakir dengan susah payah membawanya ke dalam rumah karena beratnya. Muzakir
mengambil parang. Ia sendiri yang akan membelah semangka itu. Baru saja
semangka itu terpotong, menyemburlah dari dalam buah itu lumpur hitam bercampur
kotoran ke muka Muzakir. Baunya busuk seperti bangkai. Pakaian Muzakir serta
permadani di ruangan itu tidak luput dari siraman lumpur dan kotoran yang
seperti bubur itu. Muzakir berlari ke jalan raya sambil menjerit-jerit. Orang
yang melihatnya dan mencium bau yang busuk itu tertawa terbahak-bahak sambil
bertepuk tangan dengan riuhnya.
21. KALIMANTAN TENGAH
Ambun
dan Rimbun
Konon, pada zaman dahulu kala, di sebuah
kampung di daerah Kalimantan Tengah, hiduplah seorang janda bersama dua orang
anak laki-lakinya yang sudah remaja. Anak pertamanya bernama Ambun, sedangkan
anak keduanya bernama Rimbun. Banyak orang di kampung itu mengira mereka saudara
kembar, karena wajah dan perawakan keduanya mirip sekali. Namun sebenarnya
mereka bukanlah saudara kembar, karena umur keduanya selisih satu tahun.
Ambun dan Rimbun adalah anak yang rajin
dan hormat kepada orang tua. Setiap hari mereka membantu ibunya mencari kayu
bakar ke hutan dan menjualnya ke pasar.
Pada suatu sore, Rimbun melihat abangnya
termenung seorang diri di beranda rumah mereka.
“Bang! Apa
yang sedang Abang pikirkan?” tanya Rimbun.
“Abang
sedang memikirkan nasib keluarga kita. Kalau setiap hari hanya mencari kayu
bakar, kehidupan kita tidak akan pernah membaik,” keluh Ambun.
“Lalu, apa
rencana Abang?” tanya Rimbun.
“Abang akan
pergi merantau untuk mengubah nasib keluarga kita. Banyak orang di kampung ini
kehidupannya menjadi lebih baik sepulangnya dari merantau,” jelas Ambun.
“Wah, kalau
begitu, Adik akan ikut Abang,” kata Rimbun.
“Jangan,
Dik! Kamu di sini saja menemani ibu. Kalau Adik ikut, kasihan ibu ditinggal
sendiri,” cegah Ambun.
“Tidak,
Bang! Adik harus ikut Abang,” tegas Rimbun bersikukuh ingin pergi merantau
bersama Abangnya.
“Baiklah,
kalau begitu,” kata Rimbun mengizinkan adiknya ikut serta.
Malam
harinya, kedua kakak-beradik itu menyampaikan niat mereka kepada sang Ibu.
Mendengar hal itu, sang Ibu hanya terdiam. Ia bingung bagaimana menyikapi
keinginan kedua putranya. Menurutnya, apa yang dikatakan kedua putranya itu
memang benar, bahwa merantau dapat memperbaiki kehidupan keluarga mereka,
tetapi di satu sisi, umur mereka masih sangat muda.
“Bagaimana,
Bu? Apakah ibu mengizinkan kami pergi?” Ambun kembali bertanya.
“Sebenarnya
Ibu merasa berat mengizinkan kalian pergi. Ibu khawatir terhadap
keselamatan kalian berdua di rantau. Kalian masih terlalu muda untuk merantau,”
jawab sang Ibu dengan berat hati.
“Iya, Bu!
Tapi, kami berdua bisa jaga diri dan saling menjaga,” sahut Rimbun.
“Baiklah,
kalau memang kalian bersikukuh akan pergi, Ibu mengizinkan. Tapi Ibu berpesan,
kalian harus menghormati orang lain dan jangan berpisah. Kalaupun harus
berpisah, hendaknya kalian saling mengabari,” ujar sang Ibu.
“Terima
kasih, Bu!” ucap keduanya serentak dengan perasaan gembira.
Ambun dan
Rimbun segera menyiapkan segala keperluan mereka, termasuk celana dan baju
mereka yang terbuat dari kulit kayu. Sementara sang Ibu sibuk menyiapkan
makanan untuk bekal mereka di jalan. Ia memasak empat belas buah ketupat dan
empat belas butir telur ayam untuk mereka berdua. Masing-masing mendapat tujuh
buah ketupat dan tujuh biji telur ayam. Setelah itu, ia mengambil beberapa
butir beras dan mencelupkannya ke dalam air, lalu mengoleskannya di ubun-ubun
mereka seraya berdoa:
“Semoga
Ranying Hatalla Langit (semoga Tuhan
melidungi kalian berdua).”
Saat tengah
malam, perempuan paruh baya itu membuka sebuah peti besi kecil berisi dua bilah
dohong (keris pusaka) yang bentuk dan ukurannya sama. Yang satu berlilitkan
kain merah dan yang satunya lagi berlilitkan kain kuning. Yang berlilitkan kain
merah diserahkan kepada Ambun, sedangkan yang berlilitkan kain kuning diberikan
kepada Rimbun.
“Senjata
pusaka ini adalah peninggalan almarhum ayah kalian. Tapi, ingat! Senjata ini
hanya boleh kalian gunakan jika dalam keadaan mendesak,” pesan sang Ibu seraya
mencium kening kedua putra tercintanya.
“Baik, Bu!
Kami akan selalu mengingat pesan Ibu,” kata Ambun dan Rimbun serentak.
Keesokan
harinya, Ambun dan Rimbun bersiap-siap untuk berangkat dan berpamitan kepada
sang Ibu tercinta. Suasana haru pun menyelimuti hati sang Ibu dan kedua
putranya itu. Air mata sang Ibu tidak dapat dibendung lagi. Demikian pula kedua
orang kakak-beradik itu. Mereka tidak kuat menahan rasa haru.
“Berangkatlah,
Nak! Nanti kalian kemalaman di jalan. Jika sudah berhasil, cepatlah kembali
menemani Ibu di sini!” pesan sang Ibu.
“Baik, Bu!
Kami akan segera kembali jika sudah berhasil,” jawab keduanya serentak.
Usai
mencium tangan sang Ibu, keduanya pun pergi meninggalkan kampung halaman
mereka. Sang Ibu berdiri di depan pintu sambil melambaikan tangan mengiringi
kepergian kedua putranya. Setelah keduanya menghilang di tikungan jalan
kampung, barulah ia masuk ke dalam rumah.
Ambun dan
Rimbun berjalan mendaki gunung, menuruni lembah, dan menyeberangi sungai.
Mereka berjalan mengikuti arah matahari terbenam. Saat malam tiba, mereka
berhenti untuk beristirahat. Ketupat dan telur pemberian sang Ibu mereka makan
sedikit-sedikit. Ketika matahari mulai menampakkan wajahnya di ufuk timur,
mereka kembali melanjutkan perjalanan. Tidak terasa, sudah berhari-hari mereka
berjalan.
Ketika
memasuki hari ketujuh, Rimbun mendadak jatuh sakit, karena kelelahan berjalan
jauh. Melihat
kondisi adiknya itu, Ambun menjadi panik. Ia pun mencoba mengobati adiknya
dengan memberinya minuman dari berbagai macam air akar-akaran. Namun, tidak
satu pun yang mampu menyembuhkannya. Tidak terasa air matanya pun bercucuran
membasahi pipinya. Ia sangat menyesal dan merasa bersalah karena telah
mengizinkan adiknya ikut serta. Beberapa saat kemudian, Rimbun akhirnya
meninggal dunia.
“Rimbun…
Adikku! Jangan tinggalkan Abang…!” teriak Ambun memecah kesunyian di tengah
hutan.
Namun apa
hendak diperbuat, adik tercintanya benar-benar telah menghembuskan nafas
terakhirnya. Dengan diselimuti perasaan sedih, Ambun segera menggali lubang
untuk kuburan adiknya. Setelah menguburkan jazad adiknya, Ambun mencabut dohong
adiknya. Mata dohong itu ditancapkan di bagian kepala, sedangkan warangkanya
ditancapkan di bagian kaki kuburan itu. Sementara kain berwarna kuning
pembungkus dohong itu diikatkan pada nisannya.
Setelah
itu, Ambun melanjutkan perjalanan dengan menyusuri hutan lebat. Saat hari
menjelang siang, perutnya terasa lapar. Ia pun membuka bungkusan makanannya di
bawah sebuah pohon besar dan tinggi. Setelah bungkusan itu terbuka, barulah ia
menyadari ternyata bekalnya sudah habis. Hatinya pun mulai cemas. Ia lalu
memanjat pohon besar dan tinggi tempatnya berteduh itu. Sesampainya di atas, ia
melihat kepulan asap tidak jauh dari tempatnya berada.
“Wah, pasti
ada orang di sana,” pikirnya dengan perasaan gembira.
Tanpa
berpikir panjang, ia segera turun dari atas pohon lalu berjalan menuju ke arah
kepulan asap. Setelah beberapa lama berjalan, terlihatlah sebuah rumah di
tengah hutan. Saat menghampiri rumah itu, ia melihat seorang nenek sedang
mengumpulkan kayu bakar di samping rumahnya. Agar nenek itu tidak terkejut, ia
pun mendehem.
“Hemm,
sedang apa, Nek?” tanya Ambun.
“Mengumpulkan
kayu bakar,” jawab nenek itu.
“Siapa
engkau ini anak muda? Kenapa bisa sampai ke tempat ini?” nenek itu balik
bertanya.
“Saya
Ambun, Nek,” jawab Ambun, lalu ia menceritakan semua peristiwa yang dialaminya
hingga sampai di tempat itu.
“Nenek berduka
cita atas meninggalnya adikmu,” kata nenek itu dengan perasaan haru.
Oleh karena
merasa kasihan, perempuan tua itu mengizinkan Ambun untuk tinggal bersamanya.
Setiap hari Ambun membantunya untuk mencari kayu bakar. Si Nenek pun sangat
menyayangi Ambun seperti cucunya sendiri.
Pada suatu
hari, sambil mengumpulkan kayu bakar, nenek itu bercerita kepada Ambun bahwa
sebenarnya ia adalah bagian dari keluarga Kerajaan Sang Sambaratih. Ia diusir
karena pernikahannya dengan almarhum suaminya yang berasal dari rakyat biasa.
Meskipun dikucilkan dari istana, nenek malang itu masih mendapat perhatian dari
sebagian keluarga istana. Hampir setiap minggu ada pengawal istana yang
mengantarkan makanan untuknya.
Suatu hari,
datanglah dua orang utusan dari istana Sang Sambaratih membawa makanan untuk si
Nenek. Sebelum kembali ke istana, kedua utusan tersebut memberitahukan
kepadanya bahwa raja akan mengadakan sayembara memetik bunga melati.
Barangsiapa yang dapat melompat dari halaman rumah istana sampai ke atap istana
untuk mengambil bunga melati, dan menyerahkannya kepada putri raja, maka dia
akan dijadikan menantu raja. Akan tetapi jika gagal, maka dia akan mendapat hukuman
gantung.
Si Ambun
yang mendengar kabar itu, hampir semalaman tidak dapat memejamkam matanya. Ia ingin sekali
mengikuti sayembara itu. Keesokan harinya, Ambun menemui si Nenek.
“Nek,
bolehkah Ambun mengikuti sayembara itu?” tanya Ambun.
“Oh jangan,
Cucuku! Kamu akan dihukum gantung jika gagal memetik bunga melati itu,” cegah
si Nenek.
“Nenek
tidak usah khawatir. Ambun pasti dapat mengatasinya,” kata si Ambun seraya
memperlihatkan senjata dohongnya.
“Benda apa
ini, Cucuku?” tanya si Nenek penasaran.
“Senjata
pusaka peninggalan ayahku, Nek. Senjata ini dapat menolong jika diperlukan,” jelas Ambun.
Si Nenek
pun yakin dan percaya dengan kata-kata Ambun, dan mengizinkannya untuk mengikuti sayembara
tersebut. Keesokan harinya, Ambun sudah bersiap-siap berangkat menuju istana
untuk mengikuti sayembara tersebut.
“Maaf, Nek!
Ambun ada satu permintaan,” kata Ambun.
“Apakah
itu, Cucuku?” tanya si Nenek penasaran.
“Bersediakah
Nenek menyaksikan sayembara itu. Jika seandainya Ambun gagal, Nenek dapat
menyaksikan Ambun menjalani hukuman gantung, dan saat itu adalah pertemuan
terkahir kita,” bujuk Ambun.
Oleh karena
sayang kepada Ambun, nenek itu pun memenuhi keinginan Ambun. Maka berangkatlah
mereka berdua menuju istana. Selama dalam perjalanan, si Nenek senantiasa
diselimuti perasaan cemas. Sementara si Ambun meminta kepada si Nenek untuk
mendoakannya agar dapat meraih kemenangan.
Setibanya
di halaman istana, penonton sudah penuh sesak dan para peserta sudah
bersiap-siap mengikuti sayembara. Peserta sayembara tersebut terdiri dari
delapan orang, yaitu tujuh pangeran dari kerajaan bawahan Kerajaan Sang
Sambaratih, dan si Ambun sendiri. Satu per satu pangeran tersebut mengeluarkan
kesaktiannya, namun tak seorang pun yang berhasil melompat ke atap istana dan
memetik bunga melati. Kini giliran Ambun yang akan memperlihatkan kesaktiannya.
Ketika Ambun memasuki arena, para penonton bertepuk tangan disertai dengan
suara ejekan. Mereka meragukan kemampuan Ambun. Jangankan Ambun yang hanya
orang kampung, para pangeran saja tidak satu pun yang berhasil melalui ujian
itu. Namun dengan penuh percaya diri, Ambun tetap tenang dan berkonsentrasi
penuh. Saat mengambil ancang-ancang, dengan suara nyaring Ambun berteriak
memanggil ayahnya sambil mencabut dohong pusaka yang terselip dipinggangnya.
Dengan
secepat kilat, Ambun melejit ke atas atap memetik bunga melati itu dan
menyerahkannya kepada tuan putri yang duduk di samping raja. Seketika itu pula
suara tepuk tangan dan teriakan penonton bergemuruh bagaikan membelah bumi.
Suara teriakan penonton bukan lagi suara ejekan, melainkan suara kekaguman
melihat kesaktian Ambun. Raja yang menyaksikan peristiwa itu langsung berdiri
sambil bertepuk tangan dengan penuh kekaguman.
Sementara
ketujuh pangeran tersebut merasa tidak puas. Mereka pun menyatakan perang
kepada raja Sang Sambaratih. Namun atas bantuan Ambun dengan senjata dohongnya,
ketujuh pangeran tersebut dapat dikalahkan. Akhirnya, Ambun dinikahkan dengan
putri raja. Pesta pernikahannya dilangsungkan dengan meriah selama tujuh hari
tujuh malam.
Seminggu
setelah pernikahan mereka, raja Sang Sambaratih menyerahkan kekuasaannya kepada
Ambun, karena sudah tua. Sejak dinobatkan menjadi raja, Ambun berusaha mencari
ibunya. Pada suatu hari, Ambun bersama beberapa orang pengawalnya menyusuri
jalan yang pernah dilaluinya ketika ia berangkat merantau. Setelah tujuh hari
tujuh malam berjalan, ia pun menemukan ibunya. Alangkah bahagianya sang Ibu
saat melihat anaknya kembali dan berhasil menjadi raja. Namun, di satu sisi,
sang Ibu tetap bersedih karena kehilangan Rimbun anak bungsunya.
Oleh karena
tidak ingin melihat ibunya bersedih, Ambun bersama ibu dan para pengawalnya
pergi mencari kuburan Rimbun. Setelah menemukan kuburan Rimbun, Ambun segera
memerintahkan sebagian pengawalnya untuk menggali kuburan itu, dan
memerintahkan sebagian yang lain untuk mencari Danum Kaharingan Belom (air
kehidupan) di Bukit Kamiting.
Menjelang
sore, pengawal yang diutus ke Bukit Kamiting telah kembali dengan membawa Danun
Kaharingan Belom. Ambun segera meneteskan air kehidupan itu ke tulang-tulang
adiknya yang sudah terpisah-pisah. Tidak lama kemudian, tulang-tulang itu menyusun
diri. Daging dan kulitnya pun kembali seperti semula. Akhirnya Rimbun hidup
lagi. Keluarga Ambun kini telah berkumpul kembali.
Setelah
itu, Ambun mengajak keluarganya hidup bersama di istana Kerajaan Sang
Sambaratih dengan penuh kebahagiaan.
* * *
Demikian
cerita Ambun dan Rimbun dari Kalimantan Tengah. Cerita di atas termasuk ke
dalam kategori dongeng yang mengandung pesan-pesan moral yang dapat dijadikan
pedoman dalam kehidupan sehari-hari. Setidaknya ada dua pesan moral yang dapat
dipetik dari cerita di atas yaitu, keutamaan memelihara keutuhan keluarga dan
keutamaan memiliki kemauan kuat untuk mengubah nasib.
Pertama,
keutamaan memelihara keutuhan keluarga. Sifat ini tercermin dalam kehidupan
keluarga Ambun. Mereka senantiasa saling menyayangi, menghormati dan saling
menjaga. Hal ini ditunjukkan oleh sikap dan perilaku Ambun. Setelah berhasil di
perantauan, Ambun segera mencari ibunya yang tinggal di kampung dan
menghidupkan kembali adiknya yang sudah meninggal dunia. Dikatakan dalam
untaian syair Melayu:
wahai ananda dengarkan petuah,
berkasih sayang jadikan amanah
ke mana pergi engkau pelihara
supaya hidupmu beroleh berkah
Kedua,
keutamaan memiliki kemauan kuat untuk mengubah nasib. Sifat ini ditunjukkan
oleh sikap dan perilaku Ambun dan Rimbun untuk selalu bekerja keras dan tabah
menghadapi berbagai macam kesulitan. Hal ini dapat dilihat ketika adiknya
meninggal dunia di tengah perjalanan, Ambun tetap bersemangat dan meneruskan
perjalanannya pergi merantau. Akhirnya, dengan tekad kuat, kerja keras dan
ketabahannya, Ambun berhasil mengubah nasib keluarganya.
Pelajaran
lain yang dapat dipetik dari cerita di atas adalah bahwa dalam kehidupan
keluarga sebaiknya saling mendoakan antara anggota keluarga yang satu dengan
anggota keluarga lainnya. Hal ini ditunjukkan sikap Ibu Ambun dan si Nenek yang
senantiasa mendoakan si Ambun agar terhindar dari malapetaka dan berhasil
mencapai keinginannya.
22. KALIMANTAN SELATAN
Asal
Pulau Kambang dan Kera Penghuninya
Pulau Kambang adalah objek wisata yang
jarang terlewatkan apabila orang mengunjungi pasar terapung. Selain tempatnya
yang berada disekeliling sungai dan berbentuk pulau kecil juga mudah didatangi.
Sebenarnya pulau ini termasuk wilayah Kabupaten Barito Kuala, namun lebih dekat
dengan Banjarmasin .
Pada gilirannya objek wisata Pulau Kambang ini ditawarkan dalam satu paket
dengan Pasar Terapung yang merupakan andalan kepariwisataan kota
Banjarmasin .
Di Pulau Kambang ini terdapat ribuan
warik (kera) yang selalu datang mendekat ke arah pengunjung, terlebih lagi jika
mereka sedang lapar. Tidak jarang warik-warik itu merebut benda yang ada
dipangkuan pengunjung. Ketertarikan orang pada Pulau Kambang ini ternyata
berbeda-beda tujuannya. Ada yang memanfaatkan karena letaknya dekat pasar
terapung dan sekaligus ingin melihat warik yang ada disana. Selain itu ada pula
pengunjung yang punya niat atau nadzar tertentu, sehingga mereka harus datang
ke pulau kambang. Mengapa yang datang tidak cuma bertujuan berwisata dan ada
apa dibalik itu ?
Terjadinya
Pulang Kambang
Dahulu di
antero nusantara terdapat kerajaan-kerajaan, baik yang berskala besar maupun
kecil. Di Banjarmasin tepatnya Muara Kuin berdiri sebuah Kerajaan. Dalam
penuturan yang diterima masyarakat secara turun temurun diceriterakan pada
kerajaan tersebut ada seorang patih yang sangat sakti, berani dan gagah perkasa
bernama Datu Pujung.
Datu Pujung
ini menjadi andalan dan merupakan benteng pertahanan terhadap orang-orang yang
ingin mengusai atau berbuat jahat pada Kerajaan Kuin. Suatu ketika seperti yang
dituturkan dalam cerita para orang tua dahulu datang sebuah kapal Inggeris
dengan membawa penumpang atau awak kapal yang kebanyakan orang Cina. Mereka
diketahui ingin tinggal dan menguasai kerajaan Kuin. Untuk melaksanakan niat
mereka itu tentu saja harus berhadapan dengan Datu Pujung. Ketentuan dan
persyaratan dari Datu Pujung kalau ingin mengusai kerajaan Kuin harus dapat
melewati ujian yang ditetapkan, yaitu bisa membelah kayu besar tanpa alat atau
senjata. Ternyata persyaratan dari Datu Pujung ini tidak dapat dipenuhi oleh
mereka yang ingin menguasai kerajaan tesebut. Sebaliknya Datu Pujung
memperlihatkan kesaktiannya dan dengan mudah membelah kayu besar itu tanpa
alat. Datu Pujung membuktikan kepada orang-orang yang datang berkapal itu bahwa
persyaratan yang diajukannya bukanlah omong kosong atau sesuatu yang mustahil.
Disebabkan
para pendatang yang ada di dalam kapal Inggeris itu tidak dapat memenuhi
persyaratan yang ditetapkan, maka oleh Datu Pujung diminta untuk membatalkan
niat menguasai kerajaan Kuin dan agar kembali ke negeri asalnya Namun mereka
bersikeras ingin tinggal menetap dan menguasai kerajaan Kuin sesuai dengan
tujuan yang diharapkan. Karena mereka tetap memaksakan kehendaknya, akhirnya
Datu Pujung dengan kesaktiannya menenggelamkan kapal beserta seluruh penumpang
yang ada didalamnya.
Setelah
sekian lama, bangkai kapal yang ada dipermukaan air itu menghalangi setiap
batang kayu yang hanyut. Dari hari ke hari semakin bertumpuk kayu-kayu yang
tersangkut dan kemudian tumbuh pepohonan yang menjadi sebuah pulau di tengah
sungai. Pada pulau yang ditumbuhi pepohonan ini telah pula dihinggapi oleh
burung-burung dan bersarang disana.
Cerita
tentang tenggelamnya kapal dengan para penumpangnya yang kebanyakan etnis Cina
tersebut menyebar dari mulut ke mulut dan waktu ke waktu. Sehingga mereka yang
berasal dari keturunan Cinapun banyak yang mengunjungi pulau tersebut untuk
mengenang dan memberikan penghormatan terhadap jasad yang berkubur di situ.
Jadilah pulau ini sebagai tempat penyampaian doa nadzar, terutama bagi mereka
yang merasa memiliki ikatan batin atas keberadaan pulau itu. Dahulu setiap
orang yang berkunjung ke sana membawa sejumlah untaian kambang (bunga), dan
karena berlangsung sepanjang waktu terjadilah tumpukan kambang yang sangat
banyak. Mereka yang melintasi pulau itu selalu melihat dan menyaksikan tumpukan
kambang yang begitu banyak. Oleh karena selalu menarik perhatian bagi mereka
yang melintasi tempat ini dan menjadi penanda, maka untuk menyebutnya diberi
nama Pulau Kambang.
Lama
kelamaan nama pulau kambang semakin dikenal dan ramai dikunjungi orang dengan
niat dan tujuan yang berbeda-beda. Misalnya ada yang mengkeramatkannya atau
sekadar ingin tahu keberadaan pulau kambang yang telah melegenda itu. Sekarang
pun masih ditemui adanya kunjungan dari mereka yang punya hajat tertentu dan
berbaur dengan para pengunjung atau para wisatawan lainnya setelah mengunjungi
pasar terapung.
Keberadaan
Warik Pulau Kambang
Bagaimana
pula dengan Warik yang banyak di pulau kambang itu? Ternyata memang memiliki
cerita tersendiri dan menjadikan pulau ini memiliki daya tarik untuk
dikunjungi. Dalam ceriteranya disebutkan salah satu keturunan raja di daerah
Kuin tidak dikaruniai anak. Menurut ramalan ahli nujum kalau ingin punya anak
harus berkunjung ke Pulau Kambang dengan mengadakan upacara badudus
(mandi-mandi). Ramalan dan nasihat ahli nujum ini dipenuhi oleh kerabat kerajaan. Beberapa
waktu setelah mengadakan upacara di Pulau Kambang itu, ternyata isteri dari
keturunan raja dimaksud hamil. Begitu gembira dan bahagianya keluarga raja
dengan kehadiran anak yang dinanti-nantikan, maka raja yang berkuasa
memerintahkan petugas kerajaan untuk menjaga pulau tersebut agar tidak ada yang
merusak atau mengganggunya.
Petugas
kerajaan yang mendapat perintah menjaga pulau ini membawa dua ekor warik besar,
jantan dan betina yang diberi nama si Anggur. Konon menurut ceritanya setelah
sekian lama petugas kerajaan ini menghilang secara gaib, tak diketahui kemana
perginya. Sedangkan warik yang ditinggalkannya beranak pinak dan menjadi penghuni
pulau kambang. Para orang tua dahulu ketika mengunjungi pulang kambang masih
bisa melihat si Anggur yang memang berbeda dari warik biasa.
Keberadaan
warik-warik ini telah menjadikan pulau kambang semakin menarik untuk
dikunjungi. Berdasarkan hasil pengamatan
yang pernah dilakukan oleh mereka yang perhatian terhadap keberadaan warik di
pulau kambang ini diketahui ada dua kumpulan kera yang keluar dari
persembunyiannya secara bergantian. Rombongan warik pertama yang keluar sekitar
pukul 05.00 s.d. l3.00 dan setelah itu disambung oleh kumpulan warik sip kedua
yang berada di tengah pengunjung pulau kambang. Kalau rombongan sip pertama
tidak menaati ketentuan dengan pengertian melewati batas waktu operasional,
maka ia akan diburu oleh rombongan warik lainnya. Tepatnya waktu itu mungkin
hanya sesama warik yang tahu.
Begitulah asal muasal pulau Kambang
beserta warik penghuninya. Tentang kebenarannya terpulang kepada Yang Maha Esa.
Bahwa Pulau Kambang dan warik itu memang nyata dikelilingi sungai sekitarnya,
tak perlu mempersoalkan keberadaannya. Tapi
jangan lupa mengunjungi sebagai tempat wisata.
23. KALIMANTAN TIMUR
Asal Muasal Danau Lipan
Danau Lipan
adalah sebuah tempat di Kalimantan Timur. Tepatnya di Kecamatan Muara Kaman,
yang letaknya di hulu Tenggarong, Kabupaten Kutai Kertanegara. Sebutan “danau”
di depan nama Lipan bukanlah mengandung arti danau yang sebenarnya. Karena
tempat itu merupakan daerah yang ditumbuhi pang semak yang luas.
Konon, di
suatu waktu, Muara Kaman merupakan lautan. Di sana berdirilah sebuah kerajaan
dengan Bandar di tepi laut yang ramai. Tersebutlah seorang puteri cantik
bernama Puteri Aji Berdarah Putih. Kata yang empunya cerita, disebut demikian
karena jika sang Puteri memakan sirih, maka air sepah berwarna merah yang
ditelannya akan terlihat saat mengalir. Kecantikan itu tersebar ke seantero
negeri dan kerajaan di luarnya.
Alkisah,
ketenaran sang Puteri sampai juga ke telinga seorang Raja Cina dari negeri
seberang. Maka sang Raja Cina segera membaw abala tentara mengarungi lautan
dengan sebuah jung besar untuk melamar Puteri Aji Berdarah Putih.
Kehadiran
sang Raja Cina disambut dengan meriah. Puteri nan jelita menyambut sang tamu
dengan pesta makan yang meriah. Tarian-tarian dan nyanyian disajikan juga untuk
menambah meriahnya pesta. Alangkah gembiranya sang Raja menerima sambutan yang
demikian meriah itu. Sang Puteri jelita memang tahu bahwa kehadiran Raja Cina
itu tak lain adalah untuk mempersuntingnya. Akan tetapi begitu melihat
gerak-gerik dan cara melahap makanan, Sang Puteri sontak menjadi jijik tak
terkira. Alangkah tidak lazimnya cara makan Raja Cina itu yang tidak bedanya
dengan cara anjing menyantap makanan.
Bukan saja
saja sang Puteri merasakan jijik, bahkan ketika lamaran diajukan, sang Puteri
juga merasa terhina. Tentu saja tidak sepantasnya raja terhormat punya tabiat
seperti b inatang. Lamaran itu bagaikan tamparan bagi sang Puteri.
Namun,
penolakan disertai murka itu juga ditanggapi amarah pula oleh Raja Cina. Ia
sakit hati. Darah mengalir ke ubun-ubun saat menghadapi rasa malu yang luar
biasa itu. Tangannya menggenggam seolah ingin dihantamkan pada apa saja yang
ada di hadapannya.
Sepulang
dari sana, ia memerintahkan panglima perangnya untuk menyerang kerajaan Puteri
Aji Berdarah Putih. Pertempuran pun tak dapat dielakkan. Beribu-ribu prajurit
Raja Cina merangsek bagaikan gelombang laut yang ganas.
Menghadapi
serangan itu, prajurit sang Puteri jelita tak mau kalah. Gempuran dahsyat itu
ditandinginya dengan kegagahberanian yang luar biasa. Makin lama sang Puteri
cemas melihat gelombang serangan prajurit Raja Cina yang tak bisa ditandingi
tentara perangnya yang jumlahnya jauh lebih sedikit. Puteri takut tak lama lagi
tentaranya akan tumpas.
Maka,
sebagai titisan raja sakti ia pun mulai bangkit di saat tindasan makin berat.
Ia mengambil kinang dari wadahnya. Kemudian ia mengunyah sirih sambil
mengucapkan mantera-mantera sakti. Mulutnya berkomat-kamit dan matanya yang
indah terpejam. Tak lama kemudian sang Puteri menyemburkan sepah-sepah sirih ke
segala penjuru arah.
Ajaib!
Sepah-sepah itu tiba-tiba menjelma jutaan lipan ganas yang menyerang barisan
besar prajurit Raja Cina. Lipan-lipan itu kini menjadi barisan tentara yang
mengambil alih barisan para tentara Puteri Aji yang mulai terdesak. Dalam waktu
sekejap tentanra Raja Cina lumpuh oleh keganasan lipan-lipan itu. Sebagian yang
tersisa lari tunggang langgang meninggalkan daerah itu. Namun serang
lipan-lipan itu memburu hingga sampai ke laut, tempat prajurit menyelamatkan
diri di jungnya. Perahu mereka pun tenggelam. Seluruh laskar Raja Cina tumpas.
Tempat yang
menenggelamkan jung Raja Cina itu menjadi padang luas yang menyatu dengan laut.
Syahdan, tempat itu hingga kini disebut Danau Lipan
24. SULAWESI UTARA
Kekeow
dan Gadis Miskin
Danau Lipan adalah sebuah tempat di
Kalimantan Timur. Tepatnya di Kecamatan Muara Kaman, yang letaknya di hulu
Tenggarong, Kabupaten Kutai Kertanegara. Sebutan “danau” di depan nama Lipan
bukanlah mengandung arti danau yang sebenarnya. Karena tempat itu merupakan
daerah yang ditumbuhi pang semak yang luas.
Konon, di
suatu waktu, Muara Kaman merupakan lautan. Di sana berdirilah sebuah kerajaan
dengan Bandar di tepi laut yang ramai. Tersebutlah seorang puteri cantik
bernama Puteri Aji Berdarah Putih. Kata yang empunya cerita, disebut demikian
karena jika sang Puteri memakan sirih, maka air sepah berwarna merah yang
ditelannya akan terlihat saat mengalir. Kecantikan itu tersebar ke seantero
negeri dan kerajaan di luarnya.
Alkisah,
ketenaran sang Puteri sampai juga ke telinga seorang Raja Cina dari negeri
seberang. Maka sang Raja Cina segera membaw abala tentara mengarungi lautan
dengan sebuah jung besar untuk melamar Puteri Aji Berdarah Putih.
Kehadiran
sang Raja Cina disambut dengan meriah. Puteri nan jelita menyambut sang tamu
dengan pesta makan yang meriah. Tarian-tarian dan nyanyian disajikan juga untuk
menambah meriahnya pesta. Alangkah gembiranya sang Raja menerima sambutan yang
demikian meriah itu. Sang Puteri jelita memang tahu bahwa kehadiran Raja Cina
itu tak lain adalah untuk mempersuntingnya. Akan tetapi begitu melihat
gerak-gerik dan cara melahap makanan, Sang Puteri sontak menjadi jijik tak
terkira. Alangkah tidak lazimnya cara makan Raja Cina itu yang tidak bedanya
dengan cara anjing menyantap makanan.
Bukan saja
saja sang Puteri merasakan jijik, bahkan ketika lamaran diajukan, sang Puteri
juga merasa terhina. Tentu saja tidak sepantasnya raja terhormat punya tabiat
seperti b inatang. Lamaran itu bagaikan tamparan bagi sang Puteri.
Namun,
penolakan disertai murka itu juga ditanggapi amarah pula oleh Raja Cina. Ia
sakit hati. Darah mengalir ke ubun-ubun saat menghadapi rasa malu yang luar
biasa itu. Tangannya menggenggam seolah ingin dihantamkan pada apa saja yang
ada di hadapannya.
Sepulang
dari sana, ia memerintahkan panglima perangnya untuk menyerang kerajaan Puteri
Aji Berdarah Putih. Pertempuran pun tak dapat dielakkan. Beribu-ribu prajurit
Raja Cina merangsek bagaikan gelombang laut yang ganas.
Menghadapi
serangan itu, prajurit sang Puteri jelita tak mau kalah. Gempuran dahsyat itu
ditandinginya dengan kegagahberanian yang luar biasa. Makin lama sang Puteri
cemas melihat gelombang serangan prajurit Raja Cina yang tak bisa ditandingi
tentara perangnya yang jumlahnya jauh lebih sedikit. Puteri takut tak lama lagi
tentaranya akan tumpas.
Maka,
sebagai titisan raja sakti ia pun mulai bangkit di saat tindasan makin berat.
Ia mengambil kinang dari wadahnya. Kemudian ia mengunyah sirih sambil
mengucapkan mantera-mantera sakti. Mulutnya berkomat-kamit dan matanya yang
indah terpejam. Tak lama kemudian sang Puteri menyemburkan sepah-sepah sirih ke
segala penjuru arah.
Ajaib! Sepah-sepah itu tiba-tiba
menjelma jutaan lipan ganas yang menyerang barisan besar prajurit Raja Cina.
Lipan-lipan itu kini menjadi barisan tentara yang mengambil alih barisan para
tentara Puteri Aji yang mulai terdesak. Dalam waktu sekejap tentanra Raja Cina
lumpuh oleh keganasan lipan-lipan itu. Sebagian yang tersisa lari tunggang
langgang meninggalkan daerah itu. Namun serang lipan-lipan itu memburu hingga
sampai ke laut, tempat prajurit menyelamatkan diri di jungnya. Perahu mereka
pun tenggelam. Seluruh laskar Raja Cina tumpas.
Tempat yang menenggelamkan jung Raja
Cina itu menjadi padang
luas yang menyatu dengan laut. Syahdan, tempat itu hingga kini disebut Danau
Lipan
25. SULAWESI BARAT
Asal
Mula Tari Patuddu
Alkisah, pada zaman dahulu, di daerah
Mandar Sulawesi Barat, hiduplah seorang Anak Raja di sebuah pegunungan. Di sana ia tinggal di sebuah
istana megah yang dikelilingi oleh taman bunga dan buah yang sangat indah. Di
dalam taman itu terdapat sebuah kolam permandian yang bersih dan sangat jernih
airnya.
Pada suatu
hari, saat gerimis tampak pelangi di atas rumah Anak Raja. Kemudian tercium
aroma harum semerbak. Si Anak Raja mencari-cari asal bau itu. Ia memasuki
setiap ruangan di dalam rumahnya. Namun, asal aroma harum semerbak itu tidak
ditemukannya. Oleh karena penasaran dengan aroma itu, ia terus mencari asalnya
sampai ke halaman rumah. Sesampai di taman, aroma yan dicari itu tak juga ia
temukan. Justru, ia sangat terkejut dan kesal, karena buah dan bunga-bunganya
banyak yang hilang. “Siapa pun pencurinya, aku akan menangkap dan
menghukumnya!” setengah berseru Anak Raja itu berkata dengan geram. Ia kemudian
berniat untuk mencari tahu siapa sebenarnya yang telah berani mencuri
bunga-bunga dan buahnya tersebut.
Suatu sore,
si Anak Raja sengaja bersembunyi untuk mengintai pencuri bunga dan buah di
tamannya. Tak lama, muncullah pelangi warna-warni yang disusul tujuh ekor
merpati terbang berputar-putar dengan indahnya. Anak Raja terus mengamati tujuh
ekor merpati itu. Tanpa diduganya, tiba-tiba tujuh ekor merpati itu menjelma
menjadi tujuh bidadari cantik. Rupanya mereka hendak mandi-mandi di kolam Anak
Raja. Sebelum masuk ke dalam kolam, mereka bermain-main sambil memetik bunga
dan buah sesuka hatinya.
Anak Raja
terpesona melihat kencantikan ketujuh bidadari itu. ”Ya Tuhan! Mimpikah aku
ini? Cantik sekali gadis-gadis itu,” gumam Anak Raja dengan kagum. Kemudian
timbul keinginannya untuk memperistri salah seorang bidadari itu. Namun, ia
masih bingung bagaimana cara mendapatkannya. ”Mmm...aku tahu caranya. Aku akan
mengambil salah satu selendang mereka yang tergeletak di pinggir kolam itu,”
pikir Anak Raja sambil mengangguk-angguk.
Sambil
menunggu waktu yang tepat, ia terus mengamati ketujuh bidadari itu. Mereka
sedang asyik bermain sambil memetik bunga dan buah sesuka hatinya. Mereka
terlihat bersendau-gurau dengan riang. Saat itulah, si Anak Raja memanfaatkan
kesempatan. Dengan hati-hati, ia berjalan mengendap-endap dan mengambil
selendang miliki salah seorang dari ketujuh bidadari itu, lalu
disembunyikannya. Setelah itu, ia kembali mengamati para bidadari yang masih mandi di kolam.
Setelah
puas mandi dan bermain-main, ketujuh bidadari itu mengenakan selendangnya
kembali. Mereka harus kembali ke Kahyangan sebelum pelangi menghilang. Pelangi
adalah satu-satunya jalan kembali ke Kahyangan. Namun Bidadari Bungsu tidak
menemukan selendangnya. Ia pun tampak kebingungan mencari selendangnya. Keenam
bidadari lainnya turut membantu mencari selendang adiknya. Sayangnya, selendang
itu tetap tidak ditemukan. Padahal pelangi akan segera menghilang.
Akhirnya
keenam bidadari itu meninggalkan si Bungsu seorang diri. Bidadari Bungsu pun
menangis sedih. “Ya Dewa Agung, siapa pun yang menolongku, bila laki-laki akan
kujadikan suamiku dan bila perempuan akan kujadikan saudara!” seru Bidadari
Bungsu. Tak lama berseru demikian, terdengar suara halilintar menggelegar.
Pertanda sumpah itu didengar oleh para Dewa.
Melihat
Bidadari Bungsu tinggal sendirian, Anak Raja pun keluar dari persembunyiannya,
lalu menghampirinya.
”Hai, gadis
cantik! Kamu siapa? Mengapa kamu menangis?” tanya Anak Raja pura-pura tidak
tahu.
”Aku
Kencana, Tuan! Aku tidak bisa pulang ke Kahyangan, karena selendangku hilang,”
jawab Bidadari Bungsu.
”Kalau begitu,
tinggallah bersamaku. Aku belum berkeluarga,” kata Anak Raja seraya bertanya,
”Maukah kamu menjadi istriku?”
Sebenarnya
Kencana sangat ingin kembali ke Kahyangan, namun selendangnya tidak ia temukan,
dan pelangi pun telah hilang. Sesuai dengan janjinya, ia pun bersedia menikah
dengan Anak Raja yang telah menolongnya itu. Akhirnya, Kencana tinggal dan
hidup bahagia bersama dengan Anak Raja.
Beberapa
tahun kemudian. Kencana dan Anak Raja dikaruniai seorang anak laki-laki. Maka
semakin lengkaplah kebahagiaan mereka. Mereka mengasuh anak itu dengan penuh
perhatian dan kasih-sayang. Selain mengasuh dan mendidik anak, Kencana juga
sangat rajin membersihkan rumah.
Pada suatu
hari, Kencana membersihkan kamar di rumah suaminya. Tanpa sengaja ia menemukan
selendang miliknya yang dulu hilang. Ia sangat terkejut, karena ia tidak pernah
menduga jika yang mencuri selendangnya itu adalah suaminya sendiri. Ia merasa
kecewa dengan perbuatan suaminya itu. Karena sudah menemukan selendangnya,
Kencana pun berniat untuk pulang ke Kahyangan.
Saat
suaminya pulang, Kencana menyerahkan anaknya dan berkata, ”Suamiku, aku sudah
menemukan selendangku. Aku harus kembali ke Kahyangan menemui keluargaku. Bila
kalian merindukanku, pergilah melihat pelangi!”
Saat ada
pelangi, Kencana pun terbang ke angkasa dengan mengipas-ngipaskan selendangnya
menyusuri pelangi itu. Maka tinggallah Anak Raja bersama anaknya di bumi.
Setiap ada pelangi muncul, mereka pun memandang pelangi itu untuk melepaskan
kerinduan mereka kepada Kencana. Kemudian oleh mayarakat setempat, pendukung
cerita ini, gerakan Kencana mengipas-ngipaskan selendangnya itu diabadikan ke
dalam gerakan-gerakan Tari Patuddu, salah satu tarian dari daerah Mandar,
Sulawesi Barat.
26. SULAWESI TENGAH
Asal-Usul Pohon Sagu dan Palem
Alkisah, di
daerah Donggala, Sulawesi Tengah, hidup sepasang suami-istri bersama seorang
anak lelakinya. Mereka tinggal di sebuah rumah tua yang terletak di pinggir
hutan Dolo. Hidup mereka sangat miskin. Untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari,
mereka mencari buah-buahan dan hasil hutan lainnya yang tersedia di sekitar
mereka.
Semakin
lama sang Suami pun merasa bosan hidup dengan keadaan seperti itu. Akhirnya,
timbullah niatnya ingin membuka lahan perkebunan yang akan ditanami dengan
berbagai jenis tanaman palawija dan sayur-sayuran. Suatu hari, ia pun
menyampaikan niat baiknya tersebut kepada istrinya.
“Dik!
Bagaimana kalau kita berkebun saja? Aku sudah bosan hidup seperti ini terus,”
ungkap sang Suami.
Alangkah
senang hati sang Istri mendengar rencana suaminya. Ia merasa bahwa suaminya
akan berubah untuk tidak bermalas-malasan bekerja.
“Bang, kita
mau berkebun di mana? Bukankah kita tidak mempunyai lahan untuk berkebun?”
tanya sang Istri.
“Tenang,
Dik! Besok Abang akan membuka hutan untuk dijadikan lahan perkebunan,” jawab
sang Suami.
“Baiklah
kalau begitu, aku setuju,” kata sang Istri.
Keesokan
harinya, pagi-pagi sekali sang Suami berangkat ke hutan Dolo. Setelah beberapa
lama menyusuri hutan, ia pun menemukan tempat yang cocok untuk dijadikan lahan
perkebunan. Sementara itu, sang Istri bersama anaknya menunggu di rumah sambil
menyiangi rerumputan yang tumbuh di pekarangan rumah agar ular tidak mengganggu
mereka.
Menjelang
sore hari, sang Suami pulang dari hutan sambil membawa buah-buahan untuk
persiapan makan malam mereka. Istrinya pun menyambutnya dengan penuh harapan.
Usai menyuguhkan minuman, sang Istri bertanya kepada suaminya.
“Bang,
bagaimana hasilnya? Apakah Abang sudah menemukan tempat yang cocok untuk
dijadikan lahan perkebunan?”
“Iya, Dik!
Abang sudah menemukan sebidang tanah yang subur,” jawab sang Suami.
Mendengar
jawaban suaminya, sang Istri merasa gembira. Ia berharap dengan adanya
pekerjaan baru tersebut kehidupan keluarga mereka akan menjadi lebih baik suatu
hari kelak.
“O iya,
Bang! Kalau Adik boleh tahu, di mana letak lahan itu?” sang Istri kembali
bertanya.
“Letaknya
tidak jauh dari rumah kita,” jawab sang Suami.
“Syukurlah
kalau begitu, Bang! Kita tidak perlu berjalan jauh untuk mencapainya. Lalu, kapan Abang akan
memulai membuka lahan?” tanya sang Istri.
“Kalau
tidak ada aral melintang, besok Abang akan memulainya,” jawab sang Suami dengan
penuh keyakinan.
Beberapa
saat kemudian, hari sudah mulai gelap. Sang Istri pun menyiapkan makan malam
seadanya. Usai makan malam, keluarga miskin tersebut beristirahat setelah
hampir seharian bekerja. Keesokan harinya, pagi-pagi sekali sang Suami
berangkat ke hutan sambil membawa parang dan cangkul. Sesampainya di tempat
yang akan dijadikan lahan perkebunan, tiba-tiba muncul sifat malasnya. Ia
bukannya membabat hutan, melainkan duduk termenung sambil memerhatikan
pepohanan yang tumbuh besar dan hijau di hadapannya. Sementara itu, istri dan
anaknya sedang menunggu di rumah dengan penuh harapan. Sang Istri mengharapkan
agar suaminya segera membuka lahan perkebunan.
“Anakku!
Jika Ayahmu telah selesai membuka lahan perkebunan, kita bisa membantunya
menanam sayur-sayuran dan umbi-umbian di kebun,” ujar sang Ibu kepada anaknya.
“Bolehkah
aku ikut membantu, Ibu?” tanya anaknya.
“Tentu,
Anakku! Ayahmu pasti sangat senang jika kamu juga ikut membantunya,” jawab sang
Ibu sambil tersenyum.
Menjelang
sore hari, sang Suami pulang dari hutan. Ia pun disambut oleh istrinya dengan
suguhan air minum. Setelah suaminya selesai minum dan rasa capeknya hilang,
sang Istri pun kembali menanyakan tentang hasil pekerjaannya hari itu.
“Bagaimana
hasilnya hari ini, Bang?”
“Belum
selesai, Dik!” jawab sang Suami. Keesokan harinya, sang Suami kembali ke hutan. Setiba di
sana, ia pun kembali hanya duduk termenung. Begitulah pekerjaannya setiap hari.
Begitupula jika ditanyai oleh istrinya tentang hasil pekerjaannya, ia selalu
menjawab “belum selesai”.
Oleh karena
penasaran ingin melihat hasil pekerjaan suaminya, suatu siang sang Istri
menyusulnya ke hutan tempatnya bekerja. Sesampainya di tempat itu, ia mendapati
suaminya duduk termenung sambil bersandar di bawah sebuah pohon. Alangkah
kecewanya sang Istri, karena lahan perkebunan yang diharapkannya tidak
terwujud.
“Bang! Mana
lahan perkebunan itu?” tanya sang Istri.
Mendengar
pertanyaan istrinya itu, sang Suami bukannya menjawabnya. Akan tetapi, ia
segera bangkit dari tempat duduknya, kemudian langsung pulang dengan perasaan
marah. Rupanya, ia merasa tersinggung karena istrinya menyusul ke hutan.
Mengetahui suaminya marah, sang Istri pun mengikutinya dari belakang. Sesampai
di rumah, kemarahan sang Suami semakin memuncak. Ia melampiaskan kemarahannya
dengan membanting barang-barang yang ada di dalam rumahnya. Sang Istri yang
tidak menerima kelakuan suaminya itu langsung berlari menuju ke hutan sambil
menangis. Sesampainya di tengah hutan, ia langsung menceburkan diri ke dalam
sebuah telaga. Sementara itu, sang Suami yang baru menyadari akibat dari
kelakuannya segera mengajak anaknya untuk menyusul istrinya ke tengah hutan.
“Ayo
Anakku, kita susul Ibumu ke hutan!” ajak sang Ayah sambil menarik tangan
anaknya.
“Baik,
Ayah!” jawab anaknya.
Sesampainya
di tengah hutan, tidak jauh dari hadapan mereka terlihatlah sang Istri berada
di tengah telaga. Tubuhnya sedikit demi sedikit menjelma menjadi pohon sagu. Melihat
peristiwa itu, ayah dan anak itu pun segera berlari mendekati telaga.
“Maafkan
aku, Dik! Kembalilah!” teriak sang Suami.
“Ibu…,
Ibu…. Aku ikut!” teriak anaknya sambil menangis.
“Kamu di
sini saja, Anakku! Tidak usah ikut ibumu, sebentar lagi dia kembali,” bujuk
sang Ayah.
“Tidak
Ayah! Aku mau ikut Ibu,” kata anaknya meronta-ronta.
Sang Ayah
terus berusaha membujuk anaknya agar berhenti menangis. Namun, sang Anak tetap
menangis dan bersikeras ingin ikut ibunya. Saat sang Ayah lengah, si anak pun
berlari dan terjun masuk ke dalam telaga. Maka seketika itu pula, ia
menjelma menjadi sebatang pohon sagu seperti ibunya.
Setelah
melihat peristiwa itu, barulah sang Suami sadar dan menyesali semua
perbuatannya.
“Maafkan
aku, Istriku! Maafkan aku, Anakku! Aku sangat menyesal atas semua perbuatanku
kepada kalian,” ucapnya sambil menangis berderai air mata.
Berulang
kali sang Suami meminta maaf kepada istri maupun kepada anaknya. Namun, apa
hendak dikata, nasi sudah menjadi bubur. Menyesal kemudian tiadalah guna. Istri dan anaknya telah
menjelma menjadi pohon sagu. Ia pun tidak ingin hidup sendirian tanpa istri dan
anaknya. Akhirnya, ia pun ikut terjun ke dalam telaga itu. Ketika itu pula ia
pun menjelma menjadi sebatang pohon palem.
27. SULAWESI SELATAN
Lamadukelleng
Alkisah, di sebuah negeri di daerah
Kabupaten Gowa, Sulawesi Selatan, hidup seorang raja muda yang arif dan
bijaksana. Raja tersebut sangat perhatian terhadap kehidupan rakyatnya. Ia
seringkali berjalan-jalan ke pelosok-pelosok desa untuk melihat langsung
keadaan rakyatnya dengan menyamar sebagai rakyat biasa. Pada suatu malam, sang
Raja berjalan-jalan di sebuah perkampungan yang terletak di sekitar sungai
Jeneberang. Ketika berada di perkampungan itu, tanpa sengaja, ia mendengar
percakapan dua gadis miskin kakak-beradik yang cantik jelita. “Kak, siapakah
nanti yang ingin engkau jadikan suamimu?” tanya sang Adik.“Aku ingin
bersuamikan tukang masak Raja,” jawab sang Kakak.
“Kenapa, Kak?” sang Adik kembali
bertanya.“Kalau bersuamikan tukang masak Raja, kita tidak pernah merasa
kelaparan lagi seperti ini,” jawab sang Kakak.“Kalau kamu, siapakah yang engkau
inginkan jadi suamimu?” sang Kakak balik bertanya.“Kalau aku, ingin menjadi
istri Raja,” jawab sang Adik.“Wah, tinggi sekali angan-anganmu, Dik!” ucap sang
Kakak.“Iya, Kak! Aku ingin jadi penguasa negeri ini,” imbuh sang Adik.Beberapa
saat kemudian, keduanya pun tertawa mendengar jawaban masing-masing. Sementara
itu, sang Raja yang mendengar percakapan mereka pun tersenyum.“Baiklah kalau
itu yang kalian inginkan. Aku akan mewujudkan angan-angan kalian,” kata sang
Raja dalam hati seraya berlalu dari tempat itu.Keesokan harinya, Sang Raja
mengutus beberapa orang pengawal istana untuk memanggil kedua gadis miskin
tersebut untuk menghadap kepadanya.“Hai, Kalian! Ikutlah bersama kami ke istana
untuk menghadap Raja!” seru utusan Raja.“Maaf, Tuan! Kenapa kami disuruh menghadap Raja? Apa salah
kami, Tuan?” tanya sang Kakak kepada utusan Raja dengan wajah pucat.“Maaf, kami
hanya menjalankan tugas,” jawab seorang utusan.Dengan perasaan cemas, kedua
gadis itu terpaksa mengikuti para utusan Raja. Di sepanjang perjalanan, hati
keduanya terus diselimuti oleh perasaan cemas.“Jangan-jangan Raja mengetahui
percakapan kami semalam,” pikir mereka.Sesampainya di istana, keduanya pun
langsung memberi hormat kepada sang Raja.“Ampun, Baginda! Ada apa gerangan
Baginda memanggil kami?” tanya sang Kakak.“Aku sempat mendengar percakapan
kalian semalam. Benarkah yang kalian katakan itu?” sang Raja balik
bertanya.Mendengar pertanyaan Raja, kedua gadis itu pun semakin ketakutan.
Mereka takut berterus terang kepada Raja. Mereka hanya saling melirik.“Kalian
tidak usah takut. Jawab saja dengan jujur!” kata sang Raja.Oleh karena didesak
oleh Raja, akhirnya kedua gadis itu bercerita bahwa sang Kakak hendak
bersuamikan tukang masak Raja, sedangkan sang Adik ingin bersuamikan Raja. San
Raja pun mengabulkan keinginan mereka. “Baiklah, aku kabulkan keinginan kalian.
Aku bersedia menikah denganmu,” kata sang Raja sambil menunjuk sang Adik.
Mendengar pernyataan sang Raja, kedua gadis yang semula takut berubah menjadi
gembira dan bahagia.“Benarkah itu, Baginda?” tanya sang Adik seakan-akan tidak
percaya.“Percayalah! Aku tidak akan berbohong kepada kalian,” jawab sang
Raja.“Terima kasih, Baginda Raja,” ucap kedua gadis itu serentak sambil memberi
hormat.Seminggu kemudian, pesta perkawinan mereka pun dilangsungkan. Sang Kakak
menikah dengan tukang masak Raja, sedangkan sang Adik menikah dengan Raja.
Namun, dalam hati sang Kakak terselip perasaan menyesal dan iri hati kepada
adiknya yang bersuamikan Raja, sementara ia sendiri hanya bersuamikan tukang
masak.Setahun kemudian, sang Adik melahirkan seorang bayi laki-laki yang
tampan. Namun, sebelum sang Adik sempat melihat bayinya karena pingsan saat
melahirkan, sang Kakak yang membantu persalinannya menukar bayinya dengan
seekor kucing dan segera membuang bayi itu ke Sungai Jeneberang. Setelah itu,
ia memerintahkan beberapa pengawal untuk menyebarluaskan berita itu ke seluruh
penghuni istana dan rakyat negeri bahwa istri Raja melahirkan seekor kucing.
Sang Raja yang mendengar berita buruk itu pun menjadi malu dan murka kepada
istrinya.
“Pengawal!
Jika istriku sudah siuman, segera bawa dia ke penjara bawah tanah. Dia
benar-benar telah membuatku malu!” seru sang Raja.“Baik, Baginda!” jawab para
pengawal.Beberapa saat kemudian, sang Permaisuri pun siuman. Para pengawal
istana segera membopong tubuhnya yang masih lemas itu ke penjara bawah
tanah.Sementara itu, bayi laki-laki yang dibuang ke Sungai Jeneberang hanyut
terbawa arus menuju ke arah hilir. Kebetulan di daerah hilir ada seorang kakek
sedang memancing ikan. Saat sedang asyik memancing, tiba-tiba sebuah bungkusan
melintas di dekatnya.“Hei, bungkusan apa itu?” gumam nelayan itu.Rupanya, kakek
itu tertarik melihat bungkusan itu. Ia pun segera mengambil sebatang bambu dan
menggait bungkusan itu ke tepi sungai. Alangkah terkejutnya ia saat melihat
seorang bayi mungil tergolek di dalamnya.“Wah, bayi siapa ini? Sungguh tega
orangtua yang telah membuang bayinya,” gumam kakek itu.
Tanpa
berpikir panjang, kakek itu pun segera membawa bayi itu ke rumahnya dan
menyerahkannya kepada istrinya. Alangkah bahagianya mereka, karena telah
mendapatkan bayi yang sudah lama mereka idam-idamkan. Sebab, sudah puluhan
tahun mereka menikah, tapi belum dikaruniai seorang anak. Mereka pun merawat
dan membesarkan bayi itu dengan penuh perhatian dan kasih sayang. Ketika anak
itu berumur belasan tahun, mereka pun membekalinya dengan berbagai pengetahuan,
keterampilan berburu, serta ilmu bela diri. Mereka memberinya nama
Lamadukelleng.Waktu terus berjalan. Lamadukelleng tumbuh menjadi pemuda yang
tampan. Sang Kakek dan istrinya merasa bahwa kini saatnya mereka harus
menceritakan asal usul Lamadukelleng. Pada suatu hari, ia pun menceritakan
bahwa mereka sebenarnya bukanlah orangtua Lamadukelleng.“Ketahuilah, Nak! Kami
ini bukanlah orangtuamu yang telah melahirkanmu. Kami hanya menemukanmu hanyut
terbawa arus di Sungai Jeneberang,” cerita si Kakek“Jika benar yang kalian
katakan itu, lalu siapakah orangtuaku yang sebenarnya? Dan di mana mereka sekarang?”
tanya Lamadukelleng penasaran.“Maaf, Nak! Kami juga tidak tahu siapa sebenarnya
orangtuamu. Tapi, jika kamu ingin mengetahui orang yang telah melahirkanmu,
susurilah Sungai Jeneberang hingga ke atas gunung, niscaya kamu akan menemukan
mereka,” pesan si Kakek.Keesokan harinya, Lamadukelleng pun bersiap-siap untuk
berangkat hendak mencari orangtuanya. Sebelum berangkat, si Kakek membekalinya
dua buah benda pusaka.
“Anakku,
bawalah keris dan permata pusaka ini! Siapa tahu suatu saat kamu akan membutuhkannya,”
kata si Kakek sambil menyerahkan kedua pusaka itu.“Terima kasih atas semua
kebaikan kalian. Kalian telah bersusah payah merawat dan membesarkanku. Kelak
jika aku telah menemukan orangtuaku, aku pasti akan kembali menemui kalian,”
ucap Lamadukelleng.
Usai
berpamitan, Lamadukelleng berangkat menuju ke arah hulu Sungai Jeneberang.
Berhari-hari lamanya ia berjalan menyusuri tepian Sungai Jeneberang. Pada suatu
malam, ia berhenti di suatu tempat untuk beristirahat. Setelah menemukan tempat
berlindung dari dinginnya angin malam, ia pun merebahkan tubuhnya dan langsung
tertidur lelap karena kelelahan. Pada malam itu, ia bermimpi didatangi orang
tua yang mengaku sebagai leluhurnya.“Hai, Cucuku! Jika kamu berjalan naik ke
arah gunung itu, kamu akan menemukan sebuah telaga yang terletak di lereng
gunung. Mandilah di telaga itu dan celupkan keris dan permata pemberian
orangtua asuhmu itu ke dalam air telaga. Dengan keris dan permata yang telah
dilumuri air telaga itu, kamu dapat mengobati segala jenis penyakit,” pesan
orang tua itu.Keesokan harinya, Lamadukelleng pun segera melaksanakan pesan
orang tua itu. Ketika sampai di lereng gunung, ia pun menemukan sebuah telaga
yang sangat jernih airnya. Ketika ia akan mencebur ke dalam telaga itu,
tiba-tiba seekor naga besar muncul ke permukaan telaga. Ia pun mundur beberapa
langkah dan langsung teringat dengan pusaka pemberian orangtua asuhnya. Tanpa
berpikir panjang, ia segera mencabut kerisnya yang terselip di pinggangnya. Ular
naga yang merasakan getaran dahsyat dari keris itu menjadi terpaku. Pada saat
itulah Lamadukelleng segera menghujamkan kerisnya berulang-ulang ke tubuh ular
naga itu hingga mati.Usai beristirahat sejenak, Lamadukelleng pun mandi dan
mencelupkan keris dan permatanya ke dalam air telaga. Ia berharap semoga dengan
keris dan pusaka itu akan dapat menolong orang-orang yang
membutuhkannya.Setelah itu, Lamadukelleng melanjutkan perjalanan menuju ke arah
gunung. Sebelum mencapai gunung itu, ia menemukan sebuah perkampungan yang
tanahnya subur, indah dan sejuk. Namun, ketika memasuki perkampungan itu, ia melihat
segerombolan perampok menyerbu dan merampas harta benda para warga. Para warga
berusaha melakukan perlawanan. Namun karena jumlah perampok itu cukup banyak
dan memiliki ilmu bela diri yang baik, para penduduk pun mulai terdesak.
Lama-kelamaan korban pun mulai berjatuhan dari pihak warga.Lamadukelleng yang
melihat keadaan itu segera berkelebat ke tengah-tengah medan pertempuran untuk
membantu para warga. Dengan kemampuan bela diri yang tinggi, ia bergerak ke
sana kemari dengan gesitnya, menghantam para perampok dengan pukulan dan
tendangan secara bertubi-tubi. Dalam waktu sekejap, ia berhasil menghalau para
perampok tersebut. Penduduk sangat takjub melihat kesaktian
Lamadukelleng.Ketika suasana mulai tenang, Lamadukelleng segera menyuruh para
warga untuk membawa korban ke tempat yang aman. Setelah itu, ia pun mulai
mengobati para warga yang terluka terkena sabetan golok dan pedang. Dengan
keris dan permata pusakanya, Lamadukelleng berhasil mengobati mereka. Melihat
kesaktian Lamadukelleng, para pemuka masyarakat kampung itu pun memintanya agar
bersedia mengobati warga lainnya yang terkena berbagai macam penyakit.“Anak
Muda! Bolehkah kami meminta bantuan lagi kepadamu?” pinta kepala kampung.“Apa
yang dapat saya bantu, Tuan?” tanya Lamadukelleng.
“Warga kami
banyak yang terkena penyakit, mulai dari kesurupan hingga teluh. Barangkali
kamu bisa menyembuhkan mereka,” jawab kepala kampung.Lamadukelleng pun menerima
permintaan kepala kampung itu. Ia tinggal beberapa hari di kampung itu untuk
mengobati para warga yang sedang sakit. Berkat keris dan permata pusakanya, ia
berhasil menyembuhkan para warga dari berbagai macam penyakit yang menimpa
mereka. Sejak saat itu, Lamadukelleng pun terkenal sebagai ahli bela diri dan
pengobatan hingga ke berbagai penjuru negeri.
Pada suatu
hari, berita tentang kesaktian Lamadukelleng itu pun sampai ke telinga Raja
yang tinggal di wilayah pegunungan. Rupanya Raja itu tidak lain adalah ayah
kandung Lamadukelleng. Ia sudah bertahun-tahun menderita penyakit lumpuh
lantaran mengetahui istrinya melahirkan seekor kucing. Ia tidak bisa bangkit
lagi dari tempat tidurnya. Berbagai orang pintar telah didatangkan untuk
mengobatinya, namun tak seorang pun yang mampu menyembuhkannya.
Mendengar
kabar tentang kehebatan seorang pemuda yang bernama Lamadukelleng, Raja pun
memerintahkan beberapa orang pengawalnya untuk mengundang pemuda itu ke istana.
Sesampainya di istana, sang Raja menatap pemuda itu dengan penuh perhatian.
Pada saat itu tiba-tiba hati sang Raja bergetar. Dalam hatinya terbersit
perasaan tali kasih terhadap pemuda itu. Demikian pula sebaliknya,
Lamadukelleng pun merasakan hal yang sama saat berada di depan Raja. Walau
demikian, Lamadukelleng berusaha menepis perasaan itu, karena ia harus
berkonsentrasi untuk mengobati Raja.“Maaf, Tuan! Tolong ambilkan aku segelas
air minum!” pinta Lamadukelleng kepada seorang pelayan istana.
Setelah air
minum tersedia, Lamadukelleng pun mencelupkan permata dan ujung kerisnya ke
dalam air itu. Kemudian meminta kepada pelayan istana agar segera meminumkan
air itu kepada Raja. Sang Raja pun merasakan minuman itu sangat nikmat dan
langsung menjalar ke seluruh tubuhnya. Ajaibnya, sesaat kemudian sang Raja mampu
menggerakkan tubuhnya yang lumpuh dengan pelan-pelan. Tak lama berselang, sang
Raja pulih seperti sedia kala. Alangkah suka-citanya hati sang Raja. Ia tidak
lupa berterima kasih kepada pemuda itu.
“Terima
kasih, Nak! Kamu telah menyembuhkan penyakit yang aku derita selama puluhan
tahun. Kalau boleh aku tahu, dari manakah asal usulmu? Dan Siapa kedua
orangtuamu?” tanya sang Raja. Mendengar pertanyaan itu, Lamadukelleng hanya
terdiam. Ia tidak tahu harus menjawab apa, sebab ia sendiri sedang mencari
kedua orangtuanya.
“Ampun,
Baginda! Hamba juga tidak tahu dari mana asal usul hamba. Tapi, menurut Kakek
dan Nenek yang telah merawat hamba, hamba ditemukan terhanyut di Sungai
Jeneberang saat hamba masih bayi. Kakek hanya berpesan supaya hamba menyusuri
Sungai Jeneberang hingga ke atas gunung agar dapat menemukan orangtua hamba
yang sebenarnya,” cerita Lamadukelleng.
“Aku turut
berduka cita atas keadaanmu, Nak! Semoga saja kelak kamu menemukan kedua
orangtuamu,” ucap sang Raja.“Terima kasih, Baginda! Hamba juga berharap
demikian,” kata Lamadukelleng.Setelah itu, Lamadukelleng pun disuruh tinggal
beberapa hari di sebuah pondok di samping istana.“Pelayan! Tolong layani pemuda
itu dengan baik. Berikan kepadanya pakaian yang bagus dan makanan yang lezat!”
titah sang Raja.<
Saat malam
menjelang, sang Raja duduk termenung seorang diri di serambi istana. Ia
membayangkan kisah puluhan tahun yang lalu, ketika istrinya melahirkan seekor
kucing. Dalam lamunannya, tiba-tiba sang Raja merasa ada sesuatu yang
mengganjal pikirannya.“Benarkah istriku melahirkan seekor kucing? Ah, tidak
mungkin manusia dapat melahirkan seekor binatang,” pikirnya Sang Raja pun
teringat kepada kakak istrinya yang membantu persalinan istrinya. Ia pun segera
memanggil kakak istrinya dan suaminya untuk segera menghadap. Sang Kakak dan
suaminya pun terkejut mendengar panggilan Raja. Baru kali ini sang Raja
memanggil mereka untuk menghadap. Mereka pun mulai ketakutan. “Bang!
Jangan-jangan Raja telah mengetahui semua kebohongan kita. Perasaan berdosa
tiba-tiba menghantui hatiku,” kata sang Kakak kepada suaminya.“Entahlah,
Istriku,” kata suaminya dengan cemas. Sesampainya di depan Raja, sepasang
suami-istri itu pun langsung memberi hormat kepada Raja. Sang Raja pun menatap
sang Kakak dengan pandangan yang tajam dan penuh wibawa. “Seingatku, kamulah
yang menjaga istriku saat melahirkan. Benarkah begitu?” tanya Raja kepada sang
Kakak. “Be... benar, Baginda!” jawab sang Kakak dengan gugup. “Kalau begitu,
aku mau bertanya kepadamu. Benarkah istriku melahirkan seekor kucing? Ayo,
jawablah dengan jujur!” bentak sang Raja. Mendengar bentakan Raja, sang Kakak
bersama suaminya pun langsung bersujud di hadapan Raja. “Ampuni hamba, Baginda!
Hamba dan suami hamba telah bersalah. Kami telah menukar putra Baginda dengan
seekor kucing. Ampuni kami, Baginda! Tolong jangan hukum kami!” pinta sang
Kakak.
Mendengar
jawaban itu, sang Raja bagai disambar petir. Ia benar-benar tidak menyangka
jika sang Kakak bersama suaminya telah tega melakukan hal itu. Sang Raja pun
tiba-tiba teringat kepada istrinya di penjara selama berpuluh-puluh tahun. Ia
benar-benar merasakan kepedihan yang luar biasa, karena telah menghukum
istrinya yang tidak bersalah. Dengan wajah merah padam, ia pun memalingkan
wajahnya ke arah sang Kakak dan suaminya.“Lalu, kamu apakan putraku waktu itu?”
tanya sang Raja lebih lanjut.
“Ampun,
Baginda! Hamba menghanyutkannya ke Sungai Jeneberang,” jawab sang Kakak
Mendengar
jawaban itu, tubuh sang Raja tiba-tiba bergetar. Saat itu pula, ia langsung
teringat kepada pemuda yang telah mengobatinya. Maka muncullah dugaan dalam
hatinya bahwa pemuda itu adalah putranya.
“Tidak
salah lagi, pemuda itu adalah putraku. Pantas hatiku selalu bergetar bila
menatapnya,” kata sang Raja dalam hati.
Sang Raja
pun segera memerintahkan pengawal istana untuk membebaskan istrinya dan
memanggil Lamadukelleng untuk menghadap. Ketika sang Raja bersama istri dan
putranya berkumpul, sang Raja pun menceritakan kisahnya di masa lalu kepada
istri dan putranya bahwa bayi yang dilahirkan istrinya dibuang ke Sungai
Jeneberang oleh kakak iparnya.
Mendengar
kisah Raja yang persis sama dengan kisah yang dialaminya, tanpa ragu lagi
Lamadukelleng langsung memeluk Raja yang merupakan ayah kandungnya sendiri. Sang Ayah pun membalas pelukan putranya dengan
pelukan erat.
“Putraku! Sejak melihatmu, Ayah selalu
merasakan getaran batin dan kasih sayang kepadamu. Rupanya itu pertanda bahwa
kamu adalah putraku,” kata sang Raja sambil meneteskan air mata.
“Iya,
Ayahanda! Ananda juga merasakan demikian,” sahut Lamadukelleng.
Istri Raja
hanya mampu membisu memandangi suami dan anaknya yang sedang berpelukan dengan
penuh rasa haru. Beberapa saat kemudian, sang Raja pun segera merangkul
istrinya. Mereka pun saling berpelukan menumpahkan kerinduan masing-masing.
Suasana haru itu berlangsung cukup lama.
“Maafkan
aku, Dinda! Kanda telah mencampakkan kalian sehingga harus mengalami
penderitaan hingga puluhan tahun,” ucap Sang Raja
“Sudahlah,
Kanda! Yang penting kita semua sudah berkumpul kembali. Kita akan memulai hidup
baru yang lebih baik,” kata sang Istri menghibur suaminya.
Usai
melepaskan kerinduan, Sang Raja pun segera berpaling ke arah kakak iparnya dan
suaminya.
“Kalianlah
yang telah menyebabkan kami menderita seperti ini. Kalian harus mendapat
hukuman yang setimpal. Pengawal! Bawa mereka ke penjara bawah tanah!” titah
sang Raja.
Seminggu kemudian, Lamadukelleng pun
dinobatkan menjadi Raja menggantikan ayahnya yang sudah tua. Lamadukelleng
memerintah negerinya dengan adil dan bijaksana. Semua titahnya senantiasa
ditaati oleh rakyatnya. Negerinya pun aman, makmur, dan sejahtera.
28. SULAWESI TENGGARA
La Moule
Anak Yatim
Alkisah, di sebuah dusun di daerah
Sulawesi Tenggara, hiduplah seorang anak laki-laki yatim bernama La Moelu yang
masih berusia belasan tahun. Ibunya meninggal dunia sejak ia masih bayi. Kini,
ia tinggal bersama ayahnya yang sudah sangat tua dan tidak mampu lagi mencari
nafkah. Jangankan bekerja, berjalan pun harus dibantu dengan sebuah tongkat.
Untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka, La Moelu-lah yang harus bekerja keras.
Karena masih anak-anak, satu-satunya pekerjaan yang dapat dilakukannya adalah
memancing ikan di sungai yang terletak tidak jauh dari tempat tinggalnya. Pada
suatu hari, La Moelu pergi memancing ikan di sungai. Hari itu, ia membawa umpan
dari cacing tanah yang cukup banyak dengan harapan dapat memperoleh ikan yang
banyak pula. Saat ia tiba di tepi sungai itu, tampaklah kawanan ikan muncul di
permukaan air. Ia pun semakin tidak sabar ingin segera menangkap ikan-ikan
tersebut. Dengan penuh semangat, ia segera memasang umpan pada mata kailnya
lalu melemparkannya ke tengah-tengah kawanan ikan itu. Setelah itu, ia duduk
menunggu sambil bersiul-siul. Anehnya, sudah cukup lama ia menunggu, namun tak
seekor ikan pun yang menyentuh umpannya. “Hei, ke mana perginya kawanan ikan
itu? Padahal tadi aku melihat mereka bermunculan di permukaan air,” gumam La
Moelu heran.Hari semakin siang. La Moelu belum juga memperoleh seekor ikan pun.
Mulanya, ia berniat untuk berhenti memancing. Namun karena penasaran terhadap
kawanan ikan tersebut, akhirnya ia pun memutuskan untuk meneruskannya. “Ah, aku
tidak boleh putus asa! Barangkali saja ikan-ikan tersebut belum menemukan
umpanku,” pikirnya.Alhasil, beberapa saat kemudian, tiba-tiba kailnya bergetar.
Dengan penuh hati-hati, ia menarik kailnya ke tepi sungai secara
perlahan-lahan. Ketika kailnya terangkat, tampaklah seekor ikan kecil yang
mungil terkait di ujung kailnya. Meski hanya memperoleh ikan kecil, hati La
Moelu tetap senang karena bentuk ikan itu sangat indah. Akhirnya, ia pun
membawa pulang ikan itu untuk ditunjukkan kepada Ayahnya. Sesampainya di rumah,
ayahnya pun merasa senang melihat ikan itu.“Ikan apa yang kamu bawa itu,
Anakku? Indah sekali bentuknya,” ucap ayahnya dengan perasaan kagum. “Entahlah,
Ayah!” jawab La Moelu.“Sebaiknya ikan ini diapakan, Ayah?” tanya La
Moelu.“Sebaiknya kamu pelihara saja ikan itu, Anakku! Kalaupun pun dimasak
pasti tidak cukup untuk kita makan berdua,” ujar sang Ayah.
Orang tua renta itu kemudian menyuruh La
Moelu agar menyimpan ikan itu ke dalam kembok yang berisi air. La Moelu pun
menuruti petunjuk ayahnya. Keesokan harinya, betapa terkejutnya La Moelu saat
melihat ikan itu sudah sebesar kembok. Ayahnya pun terperanjat saat melihat
kejadian aneh itu.“Pindahkan segera ikan itu ke dalam lesung!” perintah sang
Ayah.Mendengar perintah itu, La Moelu pun segera mengisi lesung itu dengan air,
lalu memasukkan ikan tersebut ke dalamnya. Keesokan harinya, kejadian aneh
itu terulang lagi. Ikan itu sudah sebesar lesung. Sang Ayah pun segera menyuruh
La Moelu agar memindahkan ikan itu ke dalam guci besar. Pada hari berikutnya,
ikan itu berubah menjadi sebesar guci. La Moelu pun mulai kebingungan mencari
wadah untuk menyimpan ikan itu.“Di mana lagi kita akan menyimpan ikan ini,
Ayah?” tanya La Moelu bingung.Sang Ayah pun menyuruh La Moelu agar memasukkan
ikan itu ke dalam drum yang berada di samping rumah mereka. La Moelu segera
memasukkan ikan itu ke dalam drum tersebut. Keesokan harinya, ikan itu sudah
sebesar drum. Ayah dan anak itu semakin bingung, karena mereka tidak memiliki
lagi wadah yang bisa menampung ikan itu. Akhirnya, sang Ayah menyuruh La Moelu
membawa ikan itu ke laut. La Moelu pun membawa ikan itu ke laut. Sebelum
melepas ikan itu ke laut, terlebih dahulu ia memberi nama ikan itu dan berpesan
kepadanya.“Hai, Ikan! Aku memberimu nama Jinnande Teremombonga. Jika aku
memanggil nama itu, segeralah kamu datang ke tepi laut, karena aku akan
memberimu makan!” ujar La Moelu.Ikan itu pun mengibas-ngibaskan ekornya
pertanda setuju. Setelah itu, La Moelu pun melepasnya. Ikan itu tampak senang
dan gembira karena bisa berenang dengan bebas di samudera luas. Keesokan harinya,
pagi-pagi sekali, La Moelu kembali ke laut untuk memberi makan ikan itu. Sesampainya di tepi
laut, ia pun segera berteriak memanggil ikan itu.
“Jinnande
Teremombonga...!!!”
Tak berapa
lama, Jinnande Teremombonga pun datang menghampirinya. Setelah makan, ikan itu
kembali ke laut lepas. Demikianlah kegiatan La Moelu setiap pagi.Pada suatu
pagi, ketika La Moelu sedang memberi makan Jinnande Teremombonga, ada tiga
orang pemuda sedang mengintainya dari atas pohon yang rimbun. Mereka adalah
keluarga yang juga tetangga La Moelu. Ketika melihat seekor ikan raksasa
mendekati La Moelu, ketiga pemuda itu tersentak kaget. Melihat hal itu, maka timbullah
niat jahat mereka ingin menangkap ikan itu. “Kawan-kawan! Ayo kita tangkap ikan
itu!” seru salah seorang dari mereka.“Tunggu dulu! Kita jangan gegabah! Kita
tunggu sampai La Moelu pulang, setelah itu barulah kita menangkap ikan itu,”
cegah seorang pemuda yang lain.Setelah La Moelu kembali ke rumahnya, ketiga
pemuda itu segera turun dari pohon lalu berjalan menuju ke tepi laut.
Sesampainya di tepi laut, salah seorang di antara mereka maju beberapa langkah
lalu berteriak memanggil ikan itu.““Jinnande Teremombonga...!!!”Dalam sekejap,
Jinnande Teremombonga pun datang ke tepi laut. Namun, saat melihat orang yang
berteriak memanggilnya itu bukan tuannya, ikan itu segera kembali berenang ke
tengah laut. “Hai, kenapa ikan itu pergi lagi?” tanya pemuda yang berteriak
tadi.“Ah, barangkali dia takut melihat kamu. Mundurlah! Biar aku yang mencoba
memanggilnya,” kata pemuda yang lainnya seraya maju ke tepi laut.Tidak berapa
lama setelah pemuda itu berteriak memanggilnya, Jinnande Teremombonga datang
lagi. Ketika melihat wajah orang yang memanggilnya tidak sama dengan wajah
tuannya, ia pun segera kembali ke tengah laut. Ketiga pemuda itu mulai kesal
melihat perilaku ikan itu. Mereka pun bingung untuk bisa menangkap ikan
itu.Setelah berembuk, ketiga pemuda tersebut menemukan satu cara, yakni salah
seorang dari mereka akan berteriak memanggil ikan itu, sementara dua orang
lainnya akan menombaknya. Ternyata rencana mereka berhasil. Pada saat ikan itu
datang ke tepi laut, kedua pemuda yang sudah bersiap-siap segera menombaknya.
Ikan itu pun mati seketika. Mereka memotong-motong daging ikan itu lalu
membagi-baginya. Setiap orang mendapat bagian satu pikul. Setelah itu, mereka
membawa pulang bagian masing-masing. Betapa senangnya hati keluarga mereka saat
melihat daging ikan sebanyak itu.Keesokan harinya, La Moelu kembali ke laut
untuk memberi makan ikan kesayangannya itu. Sesampainya di tepi laut, ia pun
segera berteriak memanggilnya.“Jinnande Teremombonga..!!!” Sudah cukup lama La
Moelu menunggu, namun ikan itu belum juga muncul. Berkali-kali ia berteriak
memanggil dengan suara yang lebih keras, tapi ikan itu tak kunjung datang ke
tepi laut. La Moelu pun mulai cemas kalau-kalau terjadi sesuatu dengan Jinnande
Teremombonga.“Ke mana perginya Jinnande Teremombonga? Biasanya, aku hanya
sekali memanggil dia sudah datang. Tapi kali ini, aku sudah berkali-kali
memanggilnya, dia belum juga muncul. Apakah ada orang yang telah menangkapnya?”
gumam La Moelu.Hingga hari menjelang siang, ikan itu tak kunjung datang.
Akhirnya, La Moelu pun kembali ke rumahnya dengan perasaan kesal dan sedih.
Dalam perjalanan pulang, ia selalu memikirkan nasib ikan kesayangangnya itu.
Sesampainya di rumah, ia pun menceritakan hal itu kepada ayahnya. Namun, sang
Ayah tidak bisa berbuat apa-apa, kecuali hanya menasehatinya.“Sudahlah, Anakku!
Barangkali ikan itu pergi mencari teman-temannya ke tengah samudra sana,” ujar
ayahnya.Pada malam harinya, La Moelu berkunjung ke rumah salah seorang pemuda
yang telah mencuri ikannya. Kebetulan pada saat itu, pemuda itu sedang makan
bersama keluarganya. Saat melihat lauk yang mereka makan dari daging ikan
besar, tiba-tiba La Moelu teringat pada Jinannande Teremombonga.
“Wah, jangan-jangan ikan yang mereka
makan itu si Jinnande Teremombonge,” pikirnya.La Moelu pun menanyakan dari mana
mereka memperoleh ikan itu. Mulanya, pemuda itu enggan untuk memberitahukannya,
namun setelah didesak oleh La Moelu akhirnya ia pun menceritakan semuanya.“Tadi
pagi aku menangkapnya di tepi laut. Memangnya kenapa, hai anak yatim? Apakah
kamu ingin juga menikmati kelezatan ikan ini?” tanya pemuda itu dengan nada
mengejek.Betapa sedihnya hati La Moelu setelah mendengar cerita pemuda itu.
Ternyata dugaannya benar bahwa lauk yang mereka makan itu adalah daging
Jinnande Teremombonga. Hati La Moelu bertambah sedih ketika pemuda itu
menawarkan daging ikan itu kepadanya, namun yang diberikan kepadanya ternyata
hanya daun pepaya. Meski diperlakukan demikian, La Moelu tidak merasa dendam kepada pemuda
itu. Ketika hendak pulang ke rumahnya, La Moelu memungut tulang ikan yang
dibuang oleh pemuda itu. Ketika sampai di depan rumahnya, ia mengubur tulang
ikan itu agar dapat mengenang Jinnande Teremombonga, ikan kesayangannya.
Keesokan harinya, La Moelu dikejutkan oleh sesuatu yang aneh terjadi pada
kuburan itu, di atasnya tumbuh sebuah tanaman. Anehnya lagi, tanaman itu
berbatang emas, berdaun perak, berbunga intan, dan berbuah berlian. Ia pun
segera memberitahukan peristiwa aneh itu kepada ayahnya. ‘Ayah! Coba lihat tanaman
ajaib di depan rumah kita!” ajak La Moelu. Ayah La Moelu pun segera keluar dari
rumah sambil berjalan sempoyongan. Alangkah terkejutnya ketika si tua renta itu
melihat tanaman ajaib itu.“Hai, Anakku! Bagaimana tanaman ajaib ini bisa tumbuh
di sini?” tanya ayah La Moelu dengan heran.La Moelu pun menceritakan semua
sehingga tanaman ajaib itu tumbuh di depan rumah mereka. Ayah La Moelu pun
menyadari bahwa itu semua adalah berkat dari Tuhan Yang Mahakuasa yang
diberikan kepada mereka. Akhirnya, mereka pun membiarkan tanaman itu tumbuh
menjadi besar. Para penduduk yang mengetahui keberadaan tanaman ajaib itu silih
berganti berdatangan ingin menyaksikannya. Semakin hari, tanaman itu semakin
besar. La Moelu pun mulai menjual ranting, daun, bunga, dan buahnya sedikit
demi sedikit. Uang hasil penjualannya kemudian ia tabung. Lama kelamaan La
Moelu pun menjadi seorang kaya raya yang pemurah di kampungnya. Ia senantiasa
membantu para penduduk yang miskin, termasuk ketiga pemuda yang pernah
menangkap ikan kesayangannya. Tak heran, jika seluruh penduduk di kampung itu sangat
hormat dan sayang kepada La Moelu. La
Moelu pun hidup sejahtera dan bahagia bersama ayahnya.
29. GORONTALO
Legenda Bulalo Lo Limutu (Danau Limboto)
Dulunya,
kabupaten Limboto merupakan lautan yang di batasi oleh dua gunung, yaitu gunung
Tilongkabila dan gunung Boliohuto. Suatu hari, air laut itu surut,sehingga
membentuk sebuah daratan yang lama kelamaan menjadi hutan lebat dan penuh semak
belukar. Tapi dataran rendahnya sebagian besar masih di genangi air tawar.
Sedangkan mata air yang bersih dan jernih berada di daratan, tepatnya di tengah
- tengah hutan yang sulit banget di jangkau oleh manusia. Tempat itu di sebut
tupalo, dan para bidadari sering mandi di situ. Ketika mereka sedang mandi,
datang seorang cowok yang merupakan jelmaan dari khayangan. Cowok tersebut
bernama Jilumoto. Dia berhasil mengambil sayap milik Mbu'i Bungale, kakak
tertua dari rombongan bidadari - bidadari itu. setelah selesai mandi, Mbu'i
Bungale nyadar kalau sayapnya hilang dan dia ga' bisa balik ke langit bersama
saudara - saudaranya. Di saat itu juga, Jilumoto muncul dari tempat
persembunyiaannya dan berkenalan dengan Mbu'i Bungale. Ga' nyangka ternyata
perkenalan itu berakhir pada sebuah pernikahan. Pasangan suami - istri ini pun
memutuskan untuk menjadi penghuni dunia dan memilih tinggal di Huntu Lo ti'opo
atau bukit kapas.
Suatu saat,
Mbu'i Bungale mandapat kiriman sebuah mustika sebesar telur itik dari
khayangan. Mustika itu di sebut Bimelula, yang kemudian di simpan di tupalo dan
di tutup dengan sebuah tolu (tudung). Suatu hari, ada empat orang cowok yang
berasal dari bagian timur dan tersesat di tengah hutan. Mereka mencari air
bersih untuk di minum. Akhirnya mereka menemukan tupalo. Begitu melihat air
yang jernih dan dingin itu, mereka langsung terjun, mandi dan mengambil air
tersebut. Setelah itu, mereka melihat ada tolu yang terapung - apung. Mereka
pun mendekati dan berniat mengambil tolu itu. Tiba - tiba suasana berubah.
langit yang cerah berubah menjadi gelap. badai dan angin topan, serta hujan
datang bersamaan menerpa mereka. sejenak mereka mencari tempat untuk
berlindung. Setelah hujan dan badainya reda, mereka kembali ke tupalo untuk
mencari tau siapa pemilik tolu itu. Ga' lama kemudian Mbu'i Bungale datang
bersama Jilumoto, keempat cowok tadi pun langsung bersembunyi dan mengintip. Di
saat Mbu'i Bungale mendekati tolu, mereka pun langsung menghadang dan berkata
"siapa kalian? buat apa kalian datang ke tempat ini?". Mbu'i Bungale
pun menjawab "saya Mbu'i Bungale dan ini Jilumoto,suami saya. Kami datang
ke sini untuk menjemput Bimelula dalam tolu itu." keempat orang itu
menjawab dengan lantang "ini tempat kami,tak seorang pun yang bisa datang
ke sini,apalagi mengambil barang - barang yang ada di sini." Mbu'i Bungale
pun balik bertanya " apa buktinya kalau semua ini milik kalian? Jika
kalian yang menguasai mata air dan tolu itu, maka ubahlah mata air itu menjadi
sebuah danau. Dan ku ingatkan kepada kalian bahwa daratan dan mata air ini
pemberian Allah SWT yang di tujukan kepada makhluk yang berbudi pekerti, baik,
menghargai sesama dan selalu berkata jujur. oleh karena itu, jagalah! dan
jangan cemarkan!". Tanpa basa - basi, keempat orang itu segera memasang
mantra untuk meluaskan mata air tersebut. Berbagai macam gaya di
peragakan seiring dengan kalimat - kalimat aneh yang keluar dari mulut mereka.
Malangnya, mata air tersebut tetap tenang, tak mengalami perubahan sedikit pun.
Hanya tubuh merekalah yang basah kuyup seperti kucing kehujanan. Mbu'i Bungale
tersenyum melihat tingkah mereka, sambil berkata "ayo,keluarkan semua
kekuatan kalian. Buktikan bahwa tempat ini milik kalian. Atau mungkin kalian
menyerah dan mengakui kebohongan kalian..?" salah satu dari mereka
menjawab "perlihatkan kepada kami bahwa kamu pemilik tolu dan Bimelula
itu." Mbu'i Bungale kemudian bersedekap dan memohon ijin dan petunjuk dari
sang Penguasa. Lalu ia berkata "Woy air kehidupan, mata air berkah,
melebarlah! meluaslah..!" wuuusstt..ga' lama kemudian terdengarlah gemuruh
air, tanah menggelegar, berlahan - lahan mata air itu melebar dan meluas. Dalam
sekejap Mbu'i Bungale dan Jilumoto telah berada di atas pohon, sementara
keempat orang itu memanjat pohon kapuk di sekitar hutan.
Air semakin
tinggi dan mulai mencapai puncak pohon, tempat ke empat tersebut. Mereka
berteriak - teriak minta tolong kepada Mbu'i Bungale. Dengan penuh permohonan
mereka berkata "Kami mohon ampun kepadamu dan suamimu. Kami mengaku salah
dan kami akui bahwa tempat ini beserta isinya milik kalian". Mbu'i Bungale
langsung turun dari pohon, lalu datang membawa tolu dan Bimelula. Kemudian
Bimelula itu di letakkkan di atas telapak tangannya ddan tak lama kemudian
keluarlah seorang gadis kecil yang sangat cantik, laksana bulan bercahaya.
gadis itulah yang kemudian di kenal dengan nama Tolango Hula yang berasal dari
Tolango Lo Hula. Dialah yang akan menjadi raja Limboto.
Ketika
Mbu'i Bungale dan suaminya bersiap pulang ke rumahnya sambil membawa si gadis
kecil serta keempat orang tadi, mereka melepas pandangan ke danau yang baru
saja di buat. Tiba - tiba Mbu'i Bungale melihat lima benda yang terapung -
apung seperti buah. Diambilnya buah - buah itu dan di cubitnya, lalu di
ciumnya. Ternyata baunya sangat harum. Dia baru sadar bahwa bau itu seperti bau
buah jeruk (limau/lemon) yang ada di negeri khayangan. Selanjutnya memandang
sekeliling danau dan memastikan kalau ada pohon jeruk yang tumbuh di sekitar
danau. Kemudian ia memanggil suaminya untuk memastikan "Kanda, bukankah
ini jeruk yang tumbuh di khayangan? aku merasa yakin,karena bau dan bentuk dari
buah ini." Suaminya mendekatinya dan ikut memegang buah tersebut dan
kemudian mengiakan pernyataan yang telah di katakan oleh istrinya. Mbu'i
Bungale kemudian berkata "Aku heran, bukankah tidak pohon jeruk yang
tumbuh di sekitar tempat ini, mengapa buah jeruk ini bisa berada di danau ini,
mungkin ini anugerah yang di berikan oleh Tuhan Yang Maha Kuasa. Ku
pikir,kejadian ini perlu di abadikan sebagai nama dari danau ini. Dan itu
artinya, danau ini pantas di beri nama Bulalo Lo Limu o Tutu, yang artinya
danau dari jeruk yang berasal dari khayangan."
30. MALUKU
Si Rusa
dan Si Kulomang
Rusa di Kepulauan Aru mempunyai
kemampuan berlari dengan sangat cepat. Namun, karena kelebihan itu, mereka menjadi hewan
yang sombong dan serakah. Demi kesenangan, mereka menantang hewan lain untuk
berlomba lari. Lawan yang berhasil dikalahkan harus menyerahkan tempat tinggal
mereka kepada rusa. Tentu saja rusa yang jadi pemenangnya. Sudah banyak wilayah
di Kepulauan Aru yang berhasil mereka kuasai. Luasnya wilayah mereka membuat
rusa semakin merasa berkuasa. Mereka mengganggap diri mereka bangsa penguasa
pulau.
Di tempat
lain, di tepian Pulau Aru, terdapat sebuah pantai yang sangat indah. Deburan
ombak yang lembur, tiupan angin yang sejuk, dan hamparan pasir yang hangat
membuat siapa pun yang berada di sana merasa nyaman. Di sanalah hidup siput
laut yang terkenal sebagai hewan yang cerdik dan sabar. Mereka hidup bersama
dan saling tolong-menolong. Mereka sadar akan kelemahan tubuh mereka. Tapi,
mereka percaya bahwa kekuatan otak tidak kalah dengan kekuatan apapun. Pada
suatu hari, rusa menantang siput yang bernama Kulomang untuk bertanding. Selain ingin menguasai
keindahan pantai, rusa ingin memuaskan hati dengan menambah koleksi kemenangan.
Rusa sangat yakiin dapat mengalahkan siput. Di seluruh pulau, siputlah binatang
yang terkenal paling lambat berjalan. Berjalan dan berlari tidak terlihat
bedanya. Selain itu, siput selalu membawa cangkang yang ukurannya melebihi
tubuh mereka. Bagi rusa, tidak ada halangan yang mengganggunya untuk
memenangkan pertandingan. Tapi, ada satu hal yang dilupakan rusa, siput adalah
binatang yang terkenal dengan kecerdikannya.
Hari
pertandingan pun tiba. Rusa membawa rombongannya untuk menyaksikan pertandingan
dengan wajah optimis. Tak mau kalah, siput juga membawa sepuluh temannya.
Masing-masing dari mereka ditempatkan di setiap pemberhentian yang telah
ditentukan. Dia meminta agar teman-temannya membalas setiap perkataan rusa.
Jalur yang akan mereka pakai, melewati 11 tempat peristirahatan termasuk tempat
dimulainya pertandingan. Dia sendiri akan berada di garis start bersama rusa
sombong.
“Sudah siap
menerima kekalahan, siput?” tantang rusa dengan congkaknya.
“Siapa
takut?!” ujar siput pendek.
Pertandingan
pun dimulai. Si rusa lari secepat kilat mendahului siput. Sementara siput
berjalan dengan tenang ke arah semak-semak. Beberapa jam kemudian, rusa sudah
sampai ke pos pemberhentian pertama. Napasnya naik turun dengan cepat. Sambil
bersandar kelelahan di pohon yang rimbun, rusa bergumam.
“Baru
sampai mana si lambat itu berlari? Hihihihi…?”
“Sampai di
belakangmu,” jawab teman siput yang sudah bersiaga di semak-semak.
Rusa kaget
siput sudah berada di dekatnya. Saking terkejutnya rusa, ia langsung melonjak
dan lari tunggang langgang. Tidak dipedulikannya rasa lelah yang dirasakannya.
Rusa terus saja berlari. Sampai-sampai, dia tidak berhenti di pos kedua. Di pos
ketiga, dia kelelahan. Dia berhenti sebentar untuk mengatur napasnya.
“Sekarang,
tidak mungkin siput mampu mengejarku!” kata rusa disela engahnya.
“Mengapa
berpikir begitu?” ujar teman siput yang lain santai, membalas ucapan rusa.
Tanpa
berpikir panjang, rusa berlari lagi.
“Tidak ada
yang boleh mengalahkanku! Apa kata rusa yang lain kalau aku mempermalukan bangsa
sendiri?!” kata rusa pada dirinya sendiri.
Rusa terus
berlari dan berlari. Tidak lupa di setiap pemberhentian, dia memastikan
keberadaan si siput. Tentu saja teman siput siap menjawab segala perkataan rusa. Memasuki pos ke
11, rusa sudah kehabisan napas. Saking lelahnya, rusa jatuh tersungkur dan
mati. Semua binatang yang pernah diremehkan rusa bersorak-sorak. Akhirnya,
siput berhasil mengalahkan rusa yang sombong dengan cara memperdayainya.
31. MALUKU
UTARA
Asal
Mula Telaga Biru
Dahulu kala Di provinsi Maluku, di
daerah Halmahera terdapat sebuah air di antara
pembekuan lahar panas. Karena menggenang dalam waktu yang cukup lama. Sehingga
membuat airnya menjadi berubah warna menjadi biru. Karena peristiwa ini aneh,
penduduk desa di daearah sana
membuat acara ritual untuk menemukan jawaban atas kejadian ini.
“Timbul dari Sininga irogi de itepi
Sidago kongo dalulu de i uhi imadadi ake majobubu” Timbul dari akibat patah
hati yang remuk-redam, meneteskan air mata, mengalir dan mengalir menjadi
sumber mata air. Itulah arti kejadian tersebut, yang ditemukan berkat ritual.
Setelah Ritual itu selesai di lakukan
maka, Kepala Desa menyuruh warganya untuk berkumpul di pusat desa. Tetua adat
dengan penuh wibawa bertanya “Di antara kalian siapa yang tidak hadir namun
juga tidak berada di rumah”. Para penduduk
mulai saling memandang. Masing-masing sibuk menghitung jumlah anggota
keluarganya. Akhirnya diketahui bawa ada dua keluarga yang anggotanya belum
lengkap. Mereka adalah Majojaru (nona) dan Magohiduuru (nyong). Setelah itu
salah seorang dari warga bercerita tentang mereka berdua.
Dulu ada Sepasang Kekasih yang berjanji
untuk sehidup semati. Mereka bernama Majojaru dan Magohiduuru. Suatu hari
Magohiduuru pergi berkelana ke negeri seberang, selama hampir satu tahun
Magohiduuru belum juga kembali. Majojaru yang terus menunggu dengan setia lama
kelamaan menjadi cemas. Suatu hari Majojaru melihat kapal yang dinaiki
Magohiduuru datang. Namun Setelah bertanya dengan awak kapal di mendengar bahwa
Magohiduuru sudah meninggal dunia ketika di negeri seberang.
Mendengar Kabar tentang Magohiduuru,
Majojaru terhempas ke tanah. Mereka berjanji sehidup semati, tetapi sekarang
Magohiduuru telah tiada. Kabar yang di dengarnya membuat dia seakan – akan
kehilangan dirinya sendiri dan tujuan hidupnya.
Hati yang sedih menyelimuti raut muka
Majojaru, muka yang tidak punya harapan hidup tampak dari raut wajahnya. Dengan perlahan – lahan
di berjalan menuju ke rumahnya, di tengah perjalanan dia berteduh di sebuah
pohon, dan bebatuan. Merenung dan meratapi nasibnya, pikirannya melayang
layang, lalu teringat akan kekasihnya Magohiduuru. Air mata keluar dari matanya
setetes demi setetes, hingga tiga hari tiga malam telah terlewati. Air matanya
yang terus mengalir, lama-kelamaan, semakin banyak hingga menggenangi dirinya
sendiri. Majojaru larut dalam kesedihan, dan tanpa di sadari air matanya
menggenang tinggi, hingga menenggelamkan bebatuan tempat ia duduk, lama
kelamaan ia pun ikut tenggelam dan meninggal dunia di sana.
Telaga
kecil pun terbentuk dari Air mata Majojaru. Airnya sebening air mata dan
warnanya sebiru pupil mata nona endo Lisawa. Penduduk dusun Lisawa pun
berkabung. Mereka berjanji akan menjaga dan memelihara telaga itu. Telaga yang
berasal dari tetesan air mata itu lama – lama airnya berubah menjadi kebiru –
biruan, sehingga penduduk di dearah sana, memberi nama Telaga Biru.
32. PAPUA
BARAT
Caadara
Suatu saat, hiduplah seorang panglima
perang bernama Wire. Ia tinggal di desa Kramuderu. Ia mempunyai seorang anak
laki-laki bernama Caadara.
Sejak kecil Caadara dilatih ilmu perang
dan bela diri oleh ayahnya. Wire berharap, kelak anaknya bisa menggantikannya
sebagai panglima perang yang tangguh.
Tahun berganti. Caadara tumbuh menjadi
pemuda yang gagah. Caadara juga tangkas dan cakap. Wire ingin menguji kemampuan
anaknya. Karena itulah ia menyuruh pemuda itu berburu di hutan.
Caadara mengumpulkan teman-temannya.
Lalu mereka berangkat berburu. Mereka berjalan melewati jalan setapak dan semak
belukar. Di hutan mereka menemui banyak binatang. Mereka berhasil menombak
beberapa binatang.
Dari hari
pertama sampai hari keenam, tak ada rintangan yang berarti untuk Caadara dan
anak buahnya. Tapi esok harinya mereka melihat anjing pemburu. Kedatangan
anjing itu menandakan bahaya yang akan mengancam.
Caadara dan
anak buahnya segera siaga. Mereka menyiapkan busur, anak panah, kayu pemukul, dan
beberapa peralatan perang. Mereka waspada.
Tiba-tiba
terdengar pekikan keras. Sungguh menakutkan! Anak buah Caadara ketakutan. Tapi
Caadara segera menyuruh mereka membuat benteng pertahanan. Mereka menuju tanah
lapang berumput tinggi. Tempat itu penuh semak belukar. Di sana mereka
membangun benteng untuk menangkis serangan musuh.
Tiba-tiba
muncullah 50 orang suku Kuala. Mereka berteriak dan menyerang Caadara dan anak
buahnya. Tongkat dan tombak saling beradu. Sungguh pertempuran yang seru.
Caadara tidak gentar. Ia memimpin pertempuran dengan semangat tinggi. Padahal
jumlah anak buahnya tak sebanding dengan jumlah musuh.
Caadara
berhasil merobohkan banyak musuh. Sedangkan musuh yang tersisa melarikan diri.
Betapa
kagumnya teman-teman Caadara melihat anak panglima perang Wire. Mereka segan
dan kagum padanya. Mereka pulang sambil mengelu-elukan Caadara.
Kampung
gempar dibuatnya. Wire sungguh bangga. Ia juga terharu sehingga berlinang air
mata. Tak sia-sia latihan yang diberikan pada Caadara.
Kampung
gempar mendengarnya. Ayahnya terharu dan berlinang air mata. Pesta malam hari
pun diadakan. Persiapan menyerang suku Kuala pun diadakan, karena mereka telah
menyerang Caadara.
Esok
harinya, Caadara diberi anugerah berupa kalung gigi binatang, bulu kasuari yang
dirangkai indah, dengan bulu cendrawasih di tengahnya.
Kemudian
masyarakat desa mempelajari Caadara Ura, yaitu taktik perang Caadara. Taktik
itu berupa melempar senjata, berlari, menyerbu dengan senjata, seni silat jarak
dekat, dan cara menahan lemparan kayu. Nama Caadara kemudian tetap harum. Ia
dikenal sebagai pahlawan dari desa itu.
33. PAPUA
Asal
Mula Nama Irian
Dahulu kala, di Kampung Sopen, Biak
Barat tinggal sebuah keluarga yang memiliki beberapa anak laki-laki. Salah satu
anak tersebut bernama Mananamakrdi. Ia sangat dibenci oleh saudara-saudaranya
karena seluruh tubuhnya dipenuhi kudis, sehingga siapa pun tak tahan dengan
baunya. Maka, saudara-saudaranya selalu meminta Mananamakrdi tidur di luar
rumah. Jika Mananamakrdi melawan, tak segan-segan saudara-saudaranya akan
menendangnya keluar hingga ia merasa kesakitan.
Suatu hari, saudara-saudaranya sudah tak
tahan dengan bau kudis itu. Maka, Mananamakrdi diusir dari rumah. Dengan
langkah gontai, Mananamakrdi berjalan ke arah timur. Sesampai di pantai, diambilnya
satu perahu yang tertambat. Diarunginya laut luas hingga ia menemukan sebuah
daratan yang tak lain adalah Pulau Miokbudi di Biak Timur.
Ia membuat gubuk kecil di dalam hutan.
Setiap hari ia pergi memangkur sagu untuk mencukupi kebutuhan makannya. Selain
itu, ia juga membuat tuak dari bunga kelapa. Kebetulan di hutan itu terdapat
beberapa pohon kelapa yang dapat disadapnya. Setiap sore, ia memanjat kelapa,
kemudian memotong manggarnya. Di bawah potongan itu diletakkan ruas bambu yang
diikat. Hari berikutnya, ia tinggal mengambil air nira itu kemudian dibuat
tuak. Suatu siang, ia amat terkejut, nira di dalam tabungnya telah habis tak
bersisa. Mananamakrdi sangat kesal. Malam itu ia duduk di pelepah daun kelapa
untuk menangkap pencurinya. Hingga larut malam pencuri itu belum datang.
Menjelang pagi, dari atas langit terlihat sebuah makhluk memancar sangat terang
mendekati pohon kelapa tempat Mananamakrdi bersembunyi. Makhluk itu kemudian
meminum seluruh nira. Saat ia hendak lari, Mananamakrdi berhasil menangkapnya.
Makhluk itu meronta-ronta.
“Siapa kamu?” tanya Mananamakrdi.
“Aku
Sampan, si bintang pagi yang menjelang siang. Tolong lepaskan aku, matahari hampir menyingsing,” katanya memohon.
“Sembuhkan dulu kudisku, dan beri aku
seorang istri cantik,” pinta Mananamakrdi.
“Sabarlah, di pantai dekat hutan ini
tumbuh pohon bitanggur. Jika gadis yang kamu inginkan sedang mandi di pantai,
panjatlah pohon bitanggur itu, kemudian lemparkan satu buahnya ke tengah laut. Kelak gadis itu akan
menjadi istrimu,” kata Sampan. Mananamakrdi kemudian melepaskan Sampan.
Sejak itu
setiap sore Mananamakrdi duduk di bawah pohon bitanggur memperhatikan
gadis-gadis yang mandi. Suatu sore, dilihatnya seorang gadis cantik mandi
seorang diri. Gadis itu tak lain adalah Insoraki, putri kepala suku dari
Kampung Meokbundi. Segera dipanjatnya pohon bitanggur. Kulitnya terasa sakit bergesekan dengan
pohon bitanggur yang kasar itu. Diambilnya satu buah bitanggur, dan dilemparnya
ke laut.
Bitanggur
itu terbawa riak air dan mengenai tubuh Insoraki hingga ia merasa terganggu.
Dilemparnya buah itu ke tengah laut. Namun, buah itu kembali terbawa air dan
mengenai Insoraki. Kejadian itu berlangsung berulang-ulang hingga Insoraki
merasa jengkel. Ia kemudian pulang.
Beberapa
hari kemudian, Insoraki hamil. Kejadian aneh di pantai ia ceritakan kepada
orangtuanya. Tentu saja orangtuanya tak percaya. Beberapa bulan kemudian,
Insoraki melahirkan seorang bayi laki-laki. Saat lahir, bayi itu tak menangis,
namun tertawa-tawa. Beberapa waktu kemudian, diadakan pesta pemberian nama.
Anak itu diberi nama Konori. Mananamakrdi hadir dalam pesta itu. Saat pesta
tarian berlangsung, tiba-tiba Konori berlari dan menggelendot di kaki
Mananamakrdi. “Ayaaah ...,” teriaknya. Orang-orang terkejut. Pesta tarian
kemudian terhenti.
Akhirnya,
Isoraki dan Mananamakrdi dinikahkan. Namun, kepala suku dan penduduk kampung merasa
jijik dengan Mananamakrdi. Mereka pun meninggalkan kampung dengan membawa semua
ternak dan tanamannya. Jadilah kampung itu sepi. Hanya Mananamakrdi, Insoraki,
dan Konori yang tinggal. Suatu hari, Mananamakrdi mengumpulkan kayu kering,
kemudian membakarnya. Insoraki dan Konori heran. Belum hilang rasa heran itu,
tiba-tiba Mananamakrdi melompat ke dalam api. Spontan, Insoraki dan Konori
menjerit. Namun ajaib, tak lama kemudian Mananamakrdi keluar dari api itu
dengan tubuh yang bersih tanpa kudis. Wajahnya sangat tampan. Anak dan istrinya
pun gembira. Mananamakrdi kemudian menyebut dirinya Masren Koreri yang berarti
pria yang suci. Beberapa lama kemudian, Mananamakrdi mengheningkan cipta, maka
terbentuklah sebuah perahu layar. Ia kemudian mengajak istri dan anaknya
berlayar sampai di Mandori, dekat Manokwari.
Pagi-pagi
buta, anaknya bermain pasir di pantai. Dilihatnya tanah berbukit-bukit yang
amat luas. Semakin lama, kabut tersibak oleh sinar pagi. Tampak pegunungan yang
amat cantik. Tak lama kemudian matahari bersinar terang, udara menjadi panas,
dan kabut pun lenyap.
“Ayah ...
Irian. Iriaaan,” teriak Konori. Dalam bahasa Biak, irian berarti panas.
“Hai, Anakku,
jangan memekik begitu. Ini tanah nenek moyangmu,” kata Mananamakrdi.
“Iya, Ayah.
Maksud Konori, panas matahari telah menghapus kabut pagi, pemandangan di sini
indah sekali,” kata Konori.
Konon,
sejak saat itu wilayah tersebut disebut dengan nama Irian. Air laut yang
membiru, pasirnya yang bersih, bukit-bukit yang menghijau, dan burung
cendrawasih yang anggun dan molek membuat Irian begitu indah.
http://taipannnewsss.blogspot.com/2018/02/bersiap-6-zodiak-ini-akan-hadapi-cinta.html
ReplyDeletehttp://taipannnewsss.blogspot.com/2018/02/ungkapan-hati-tak-lagi-redup-melalui.html
http://taipannnewsss.blogspot.com/2018/02/parah-dosen-dan-mahasiswa-selfie-bareng.html
QQTAIPAN .ORG | QQTAIPAN .NET | TAIPANQQ .VEGAS
-KARTU BOLEH BANDING, SERVICE JANGAN TANDING !-
Jangan Menunda Kemenangan Bermain Anda ! Segera Daftarkan User ID nya & Mainkan Kartu Bagusnya.
Dengan minimal Deposit hanya Rp 20.000,-
1 user ID sudah bisa bermain 7 Permainan.
• BandarQ
• AduQ
• Capsa
• Domino99
• Poker
• Bandarpoker.
• Sakong
Kami juga akan memudahkan anda untuk pembuatan ID dengan registrasi secara gratis.
Untuk proses DEPO & WITHDRAW langsung ditangani oleh
customer service kami yang profesional dan ramah.
NO SYSTEM ROBOT!!! 100 % PLAYER Vs PLAYER
Anda Juga Dapat Memainkannya Via Android / IPhone / IPad
Untuk info lebih jelas silahkan hubungi CS kami-Online 24jam !!
• WA: +62 813 8217 0873
• BB : D60E4A61
• BB : 2B3D83BE
Come & Join Us!
CARI PERLENGKAPAN BULUTANGKIS BERKUALITAS & MURAH?
ReplyDeleteSilahkan cek diwebsite kami gan bintangsports.store
pasarqq
ReplyDeletewedeqq
interqq
judi togel
https://tabelpaito.com
togel online
agen toto
judi slot online
ReplyDeletedomino online
ceme online
agen domino
situs poker terpercaya indonesia
judi slot online
ReplyDeletedomino online
ceme online
agen domino
situs poker terpercaya indonesia
Nice articles and your informatin valuable and good artices thank for the sharing information Lube Factory
ReplyDelete